Chapter 3: Momen Hangat Terganggu
Arka sedikit tersenyum lembut. “Karena aku merasa beruntung bisa berada di sini denganmu, Aleza. Di tengah semua kekacauan ini, kamu adalah ketenanganku.”
Aku menunduk sebentar, merasakan kehangatan yang mengalir dari kata-katanya. “Aku juga merasa begitu, Arka. Terima kasih sudah selalu ada.”
Ia menggenggam tanganku lebih erat. “Kita akan melewati semuanya bersama, aku janji.”
Aku menatap matanya, yakin bahwa janji itu bukan sekadar kata, tapi sebuah ikatan yang tulus.
Aku menghembuskan napas perlahan, mencoba menenangkan gelombang rasa yang mengombang-ambing di dalam dada. “Kadang aku merasa takut, Arka. Takut jika semuanya berubah menjadi lebih rumit dari yang bisa kita bayangkan.”
Arka membelai punggung tanganku dengan lembut. “Rasa takut itu manusiawi, tapi jangan biarkan itu menguasai pikiran dan mengerdilkan keberanian.”
Senyum kecil mengembang di bibirku, seolah kehadirannya mampu meredakan badai dalam hatiku. “Kehadiranmu membuatku merasa kuat. Semoga kita bisa melewati semua kesulitan bersama-sama.”
Matanya menatapku penuh keyakinan. “Aku percaya selama kita saling mendukung, tidak ada yang tidak mungkin.”
Keheningan di antara aku dan Arka mulai terasa berat, kami masih menunggu Maya yang belum juga kembali. Suasana malam semakin sunyi, hanya suara angin yang berbisik lembut di sekitar kami. Aku menatap Arka, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mulai merayap.
“Terkadang, menunggu justru membuat rasa penasaran semakin membakar,” bisikku pelan.
Arka mengangguk dengan tatapan matanya yang tetap fokus ke arah jalan yang tadi dilalui Maya. “Aku juga merasa ada yang tidak biasa malam ini.”
Angin malam berdesir semakin kencang, membuat dedaunan bergesekan seolah menyimpan bisikan rahasia. Sunyi terasa mencekam, hanya sesekali diselingi oleh suara ranting patah entah dari mana. Aku dan Arka saling berpandangan, merasakan ada sesuatu yang tak beres. Setiap bayangan di sekitar tampak bergerak, seakan ada yang mengintai dalam gelap. Jantungku berdegup kencang, menanti sesuatu yang belum jelas bentuknya.
Suara lirih entah dari arah mana terdengar, seperti gesekan kaki yang menyeret di atas tanah berpasir. Aku mencoba menajamkan pendengaran, tapi justru itu membuat suasana semakin menakutkan. Terasa aneh ketika suara itu berhenti setiap kali aku mencoba memastikan asalnya. Hanya suara napasku sendiri yang beradu dengan degup jantung, keras seolah memantul di telinga.
Arka menelan ludah dan matanya bergerak gelisah mengikuti setiap bayangan yang menari di antara pepohonan. Aku bisa merasakan tangannya mengepal, bukan sekadar siap, tapi juga untuk menahan ketegangan yang hampir meledak. Angin yang tadinya sekadar berhembus, kini terasa seperti hembusan dingin yang menusuk kulit, membawa aroma lembab tanah basah yang seakan menutup ruang kami untuk bernapas.
Tiba-tiba, seekor burung malam terbang dari semak, mengepakkan sayapnya dengan keras hingga membuatku terlonjak kaget. Namun rasa lega karena ternyata hanya seekor burung pun segera hilang, tergantikan oleh kesadaran bahwa ada sesuatu atau mungkin seseorang yang tetap bersembunyi di balik gelap. Keheningan setelah itu lebih menakutkan dari suara apa pun. Seperti ada sesuatu yang menunggu saat tepat untuk menampakkan diri.
Samar-samar langkah tergesa terdengar mendekat. Awalnya ragu-ragu, namun semakin dekat dan jelas. Aku dan Arka menegakkan tubuh, bersiap menghadapi entah siapa yang datang. Nafasku tercekat, rasa dingin menjalari tengkukku. Malam ini membuat kami seolah menahan napas.
Tiba-tiba, dari balik bayang-bayang pohon, sosok Maya muncul dengan langkah tergesa. Wajahnya pucat dan matanya yang gelisah langsung bertemu pandanganku dan Arka. “Aku ... aku harus bilang sesuatu,” suaranya bergetar, membawa ketegangan yang langsung menyelimuti kami.
Aku dan Arka sontak terdiam, menunggu kata-kata berikutnya, tapi Maya justru terhuyung seolah tenaganya terkuras habis. Nafasnya tersengal-sengal, dadanya naik turun tidak beraturan dan matanya sesekali menoleh ke belakang, seperti takut ada sesuatu yang mengejarnya. Aku bisa merasakan bulu kudukku meremang, karena jelas sekali apa pun yang membuat Maya seperti ini pasti sesuatu yang luar biasa
“Tenang, Maya … ada apa sebenarnya?” suaraku pelan, berusaha menenangkan, meski suara sendiri terdengar pecah oleh rasa cemas.
Maya menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar hebat. “Mereka tahu … aku melihatnya dan sekarang mereka juga mencari kita,” katanya lirih hampir seperti bisikan, tapi cukup tajam untuk menusuk jantungku.
Arka langsung maju setapak, wajahnya mengeras. “Siapa yang kau maksud? Apa yang kau lihat?”
Maya menutup wajahnya sesaat, matanya berkaca-kaca, lalu menatap kami dengan pandangan penuh ketakutan. “Kalau aku ceritakan … kita tak akan pernah bisa kembali tenang. Karena mereka … sudah ada di sekitar sini.”
Ucapan itu membuat udara seolah membeku. Suasana malam yang sunyi kini berubah menjadi ancaman tak kasat mata. Aku dan Arka serentak menoleh ke sekeliling, mendengarkan setiap desiran, setiap bayangan yang mungkin menyimpan sesuatu yang lebih mengerikan dari sekadar kegelapan.
Kami saling berpandangan, jantung berdegup kencang, menyadari yang Maya sampaikan bukanlah kabar biasa.
Keheningan kami pecah oleh getar ponsel Maya yang tiba-tiba membelah malam. Wajahnya berubah, rona pucat menyapu pipinya seolah angin dingin menyusup ke dalam dadanya. “Ini .... dari nomor yang sama,” bisiknya. Suara Maya nyaris tenggelam dalam desiran angin.
Belum sempat juga kehilangan kekhawatiran, kini kami dikagetkan dengan kabar baru. Aku menatap Maya dengan jantung berdegup semakin keras. “Apa isi pesannya?”
Kekhawatiran merayap di benakku. Apakah peneror ini orang yang sama yang selama ini mengirim pesan-pesan misterius kepadaku?
Maya menghela napas, kata-katanya jatuh seperti rintik hujan yang membasahi tanah kering. “Jangan cari tahu lebih jauh atau kamu akan menyesal.”
Kami semua saling pandang dan sesaat membisu. Aku sedikit mundur ke belakang disaat ada suara langkah kaki di balik cahaya yang remang.
“Hai!”
Dimas muncul dari balik bayang-bayang, langkahnya mantap menembus keheningan malam. Matanya menyala penuh kewaspadaan, seolah membaca rahasia yang tersembunyi di balik gelap. Ia berhenti di hadapan kami dengan suaranya yang rendah tetapi tegas.
“Ini bukan kebetulan,” katanya sambil menatap kami satu per satu. “Ada mata yang mengintai, bayang-bayang yang mengawasi setiap langkah kita. Kita harus segera mencari Raka sebelum semuanya terlambat.”
Aku mengangguk, merasakan ketegangan yang sama menyusup ke dalam dada. Maya dan Arka saling bertukar pandang bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.
Lagi-lagi Arka menatap serius. Sorot matanya tajam penuh kewaspadaan membelah kegelapan seperti pedang yang siap menebas. “Jika benar begitu, kita harus lebih waspada.”
Aku menelan ludah, dingin merayap seperti embun malam yang menggigilkan tulang. “Tapi bagaimana jika ini jebakan? Bagaimana jika Raka ...?”
Sebelum kata-kata itu selesai seperti ada suara berat yang menghentikan waktu. Dari balik bayang-bayang, sosok pria muncul secara perlahan. Wajahnya terselubung kegelapan, matanya seperti bara api yang membakar rahasia. “Kalian terlalu dalam menyelami sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi,” suaranya bergema, dingin dan menusuk ke relung jiwa.
Tubuhku membeku dengan napas tertahan dalam genggaman waktu. Arka melangkah maju sebagai benteng pelindung di tengah badai. “Siapa kamu? Apa maksudmu?”
Pria itu tersenyum sinis, senyum yang menggoreskan luka tak terlihat. “Aku hannyalah pengingat bahwa tidak semua rahasia patut diungkap. Kadang, kebenaran membawa kehancuran yang tak terperi.”
Dengan langkah ringan namun pasti, dia menghilang ke dalam gelap dengan meninggalkan kami dalam bisu yang menusuk hati.
Angin malam berbisik membawa pesan yang lebih berat dari sebelumnya. Bayangan Raka yang hilang, ancaman yang membayangi dan sosok misterius yang muncul seperti badai sebelum gelombang.
Aku menatap langit malam yang pekat, hati berdebar dalam simfoni ketakutan dan harap. Apakah kami cukup kuat untuk menantang kegelapan yang semakin pekat? Ataukah kami akan terjerat dalam jaring rahasia yang tak terduga dan terperangkap dalam labirin takdir yang menunggu untuk diruntuhkan?
Malam senja yang dulu membelai lembut langit kampus kini berubah menjadi tirai kelam yang menyimpan teka-teki paling dalam. Sebuah kisah yang belum selesai. Sebuah janji yang menunggu untuk dipecahkan.
Daftar Chapter
Chapter 1: Ruang Bagi Rasa
1,043 kata
Chapter 2: Meredam Kegelisahan
1,023 kata
Chapter 3: Momen Hangat Terganggu
1,176 kata
Chapter 4: Tatapan Penuh Tanya
1,153 kata
Chapter 5: Dinginnya Malam
1,044 kata
Chapter 6: Menatap Lama
1,346 kata
Chapter 7: Bayangan Tersembunyi
1,269 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!