Chapter 4: Tatapan Penuh Tanya
Arka menoleh sekejap dan matanya bertemu dengan tatapanku yang penuh kepercayaan. Sebuah senyum kecil terukir di bibirnya, seolah menyampaikan bahwa aku tidak perlu takut selama dia ada di sisiku. Namun, kami tetap menjaga jarak karena sadar bahwa malam ini bukan hanya soal rasa, tapi juga perjuangan bersama.
Kami melanjutkan langkah dan hati kami terikat oleh tekad dan kehangatan yang tak terucapkan. Kembali siap menghadapi apa pun yang menanti. Tiba-tiba dari balik bayang-bayang gedung tua, muncul sosok yang membuat napas kami terhenti sejenak. Jantungku berdegup kencang, mata kami membelalak dalam ketegangan. Sosok itu berjalan pelan, tatapannya tajam, namun penuh kelelahan.
“Raka?” Maya bersuara nyaris berbisik, tak percaya. Kami semua juga terbelalak melihat seseorang yang sejak tadi dicari ternyata muncul tidak terduga.
Raka berhenti di hadapan kami dengan wajah luka dan berjalan sempoyongan. “Aku .... aku berhasil kabur.” Suaranya terdengar serak. “Tapi, mereka masih mengincarku. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap dari yang kalian bayangkan.”
“Kamu terluka.” Aku dan Maya mendekat dengan cemas, tapi Raka mengangkat tangan menahan kami dengan tegas. Matanya menyipit, bibirnya mengeras menunjukkan keteguhan yang sulit digoyahkan. “Luka ini tidak akan membuatku mati. Kalian tidak perlu khawatir.” Suara terdengar rendah, tapi penuh keyakinan untuk menolak bantuanku dan Maya. Terpaksa kami berhenti demi mengikuti kemauan Raka, meskipun sebenarnya kami tidak tega membiarkannya terluka.
Kami saling bertukar pandang. Rasa lega bercampur dengan ketakutan yang semakin dalam. Apa sebenarnya yang Raka temukan? Seberapa besar bahaya yang kini mengancam kami semua? Sepertinya rahasia yang selama ini tersembunyi secara perlahan akan terkuak atau masih akan membawa kami ke dalam pusaran misteri yang belum pernah kami duga sebelumnya.
Arka melangkah maju, menatap Raka dengan campuran kekhawatiran dan harapan. “Raka, coba ceritakan semuanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa mereka yang mengincar mu?”
Raka menghela napas berat. “Kelompok itu .... mereka bukan hanya sekadar bayang-bayang di kampus. Mereka punya kekuatan yang jauh lebih besar, berakar hingga ke dalam sistem yang kita percayai. Mereka mengendalikan segalanya dari balik layar dan aku menemukan bukti yang bisa menghancurkan mereka.”
Maya memegang lenganku erat, suaranya bergetar, “Bukankah itu terlalu berbahaya untuk kita hadapi?”
Aku menatap Raka, hatiku berdebar. “Tapi jika kita diam, mereka akan terus berkuasa, dan lebih banyak yang akan menjadi korban.”
Dimas mengangguk serius. “Kita harus berhati-hati, tapi kita tidak bisa mundur sekarang. Ini tentang kebenaran dan keadilan.”
Arka menatap kami semua, matanya penuh tekad. “Kalau begitu kita hadapi bersama. Kita kumpulkan bukti dan cari cara untuk mengungkap mereka tanpa membahayakan diri kita.”
Raka mengangguk pelan, “Aku tahu risikonya. Tapi aku percaya pada kalian. Bersama-sama kita bisa mengungkap kebenaran dan menghentikan mereka sebelum semuanya terlambat.”
Malam ini di bawah langit yang mulai gelap, kami berdiri satu sama lain untuk menyatukan tekad demi melawan bayang-bayang yang mengancam. Perjalanan kami baru saja dimulai dan setiap langkah ke depan membawa bahaya sekaligus harapan yang membara.
Maya menarik napas panjang, suaranya bergetar saat berkata, “Kalau benar apa yang Raka katakan, kita harus siap menghadapi konsekuensi apa pun. Tapi, apa kita benar-benar siap?”
Aku menatap mereka satu per satu, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mulai merayap. “Kita tidak punya pilihan lain. Kalau kita diam, mereka yang menang.”
Dimas mengangguk mantap, “Ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang masa depan kampus, tentang keadilan yang harus ditegakkan.”
Arka menatap langit yang mulai pekat, lalu kembali menatap kami dengan tatapan penuh keyakinan. “Besok kita kembali bertindak. Tapi ingat rahasia ini harus tetap terjaga. Sekali bocor semuanya bisa hancur.”
Suasana menjadi hening, hanya terdengar detak jam di dinding dan bisikan angin malam. Di balik tekad yang menyala ada bayangan ancaman yang belum kami ketahui.
Tiba-tiba ponselku bergetar pelan di saku, memecah keheningan. Sebuah pesan masuk dari nomor yang sama. Meskipun tanpa nama pengirim, tapi ini lebih terasa menjengkelkan karena berisi satu kalimat singkat dan menusuk.
“Jangan terlalu percaya, karena kegelapan lebih dekat daripada yang kamu kira.”
Aku menatap layar dengan jantung berdebar, rasa dingin merayap ke tulang. Di antara kami semua ada rasa waspada yang semakin menguat. Menyadarkan bahwa perjuangan ini bukan hanya tentang keberanian, tapi juga tentang bertahan menghadapi bayang-bayang yang siap menyerang kapan saja.
Langit malam yang gelap bukan hanya saksi bisu, tapi juga pengingat bahwa rahasia dan bahaya masih menunggu untuk terungkap.
Arka menatapku dengan penuh rasa ingin tahu, suaranya pelan tapi tegas, “Aleza, ada apa? Kamu terlihat gelisah tiba-tiba.”
Aku menghela napas ringan, berusaha menyembunyikan getar di suaraku. “Ah, itu .... tidak penting. Hanya pesan biasa dari seseorang yang salah kirim.
Maya dan Dimas saling bertukar pandang, tapi aku menegaskan dengan senyum tipis. “Kita harus fokus pada apa yang ada di depan, bukan hal-hal yang bisa mengalihkan perhatian.”
Arka masih menatapku lama, seolah mencoba membaca apa yang aku sembunyikan.
Tiba-tiba ponselku kembali bergetar pelan di saku. Sebuah pesan masuk lagi dari nomor yang sama. “Mata-mata ada di sekelilingmu. Jangan biarkan kepercayaan membutakanmu.”
Aku menatap layar dengan jantung berdebar dan hawa dingin yang merayap ke tulang. Meski begitu, aku berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, lalu membalas dengan senyum tipis yang berusaha menyembunyikan kegelisahan. Di antara kami, rasa waspada semakin menguat, seolah bayangan yang selama ini kami hindari kini mulai mengintai dari balik tirai malam. “Mungkin hanya lelucon iseng seseorang,” ujarku pelan mencoba terdengar santai meski hati tak menentu. Arka masih menatapku dengan tatapan penuh tanya, namun aku memilih untuk tidak membuka lebih jauh kegelisahan yang bersembunyi di balik senyumku.
Arka masih menatapku dengan penuh keingintahuan, suaranya pelan tapi tegas, “Aleza, ada apa? Tib-tiba kmu terlihat gelisah.”
Aku menghela napas ringan berusaha menyembunyikan getar di suaraku. “Ah, itu .... hanya pesan biasa. Tidak ada apa-apa, Arka.”
Namun, saat aku menoleh ke arah Raka yang berdiri di sudut, aku menangkap kilatan aneh di matanya, sebuah rahasia yang tak bisa aku abaikan. Apakah dia benar-benar korban yang kita pikirkan? Ataukah dia bagian dari kegelapan yang mengintai kami selama ini?
Pertanyaan itu menggantung berat di udara malam, membuka pintu bagi sebuah pengkhianatan yang akan mengubah segalanya. Aku tahu perjalanan kami baru saja memasuki babak yang paling berbahaya.
Langkah-langkah kami terasa semakin berat, seolah setiap detik menjerat kami dalam jebakan yang tak kasat mata. Angin malam bertiup lebih dingin, membawa aroma asing yang tak pernah ada sebelumnya. Aroma besi berkarat itu bercampur dengan sesuatu yang samar seperti darah.
Aku menoleh ke arah Raka sekali lagi. Senyumnya tipis, sulit terbaca apakah itu senyum lega karena sudah bersama kami atau senyum yang menyimpan sesuatu yang lebih gelap. Jantungku berdegup tak menentu dan entah mengapa, kata-kata dari pesan misterius itu terus bergema di kepalaku. “Mata-mata ada di sekelilingmu.”
Di kejauhan suara sirene samar terdengar dan kemudian menghilang seperti ditelan malam. Kami semua saling berpandangan dan untuk sesaat, aku merasa seakan ada mata lain yang mengawasi dari balik bayangan.
Apakah kami benar-benar sedang berjalan menuju kebenaran? Atau justru tanpa sadar sedang melangkah ke dalam perangkap yang sudah mereka siapkan?
Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Tapi di dalam hati, aku tahu satu hal malam ini hanyalah awal dari badai yang lebih besar dan mungkinkah salah satu diatara kami bukanlah sekutu yang sebenarnya.
Daftar Chapter
Chapter 1: Ruang Bagi Rasa
1,043 kata
Chapter 2: Meredam Kegelisahan
1,023 kata
Chapter 3: Momen Hangat Terganggu
1,176 kata
Chapter 4: Tatapan Penuh Tanya
1,153 kata
Chapter 5: Dinginnya Malam
1,044 kata
Chapter 6: Menatap Lama
1,346 kata
Chapter 7: Bayangan Tersembunyi
1,269 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!