Chapter 5: Dinginnya Malam
Di bawah langit malam yang mulai memburam, setiap langkah kami terasa berat, namun penuh makna. Angin dingin menyusup menusuk kulit, membawa bisikan rahasia yang tak terucapkan. Bayang-bayang masa lalu dan masa depan seperti berkelindan, menari dalam kegelapan yang tak terlihat. Di antara keraguan dan harapan, kami berdiri di persimpangan yang membelah antara percaya dan curiga, antara kehangatan yang menenangkan serta dingin yang mengancam.
Raka berdiri di tengah kami. Matanya menyala penuh semangat dan suaranya lantang seperti pemimpin yang mengobarkan perang.
“Kita harus melanjutkan perjalanan malam ini, mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di balik kampus ini,” ujarnya tegas.
Namun, ada sesuatu yang tak bisa aku abaikan. Keteguhan itu terasa janggal, seperti topeng yang menutupi sesuatu yang lebih kelam. Firasatku meronta bukan karena kata-katanya, tapi karena cara Raka mengatakannya. Terlalu bersemangat dan terlalu kuat untuk seseorang yang baru saja kabur dan berdarah-darah.
Aku memperhatikan pelipis kanannya. Ada darah yang mengalir perlahan, tapi ekspresinya tidak sedikit pun menunjukkan rasa sakit. Bukankah seharusnya luka seperti itu membuatnya lemas? Atau .... mungkinkah itu hanya luka pura-pura?
“Sepertinya kalian kelelahan,” ucap Dimas, berusaha meredakan ketegangan.
“Tentu saja,” sambung Maya dengan nada letih. “Kita sudah berputar-putar mengelilingi gedung kampus, itu bisa membahayakan kalau ada yang melihat. Aku juga takut karena ada ...” Suara Maya terhenti ketika Raka menoleh menatap tajam ke arahnya.
Aku melihat Arka menoleh padaku, tatapannya seolah ingin berkata. Jika perjalanan sebaiknya dihentikan malam ini. Namun, sebelum aku sempat bicara, Raka menoleh padanya dengan senyum tipis yang terasa dingin.
“Arka, kamu takut?” tanyanya datar, tapi tajam.
“Heh!” Arka sedikit menegang, menahan amarah. Nada itu terdengar seperti meremehkan, menusuk ke dalam harga dirinya.
“Bagaimana denganmu, Aleza?” Raka kini mengalihkan tatapan kepadaku. Sorot matanya menekan, seakan menuntut jawaban. “Bukankah kita selalu kompak dalam segala hal? Apakah kau juga akan ikut berhenti seperti mereka?”
Aku tercekat. Suara hatiku bergemuruh. Baru kali ini aku melihat sisi lain dari Raka, sisi yang asing, keras serta penuh tekanan. Maya dan Dimas terlihat gusar, tapi memilih bungkam, mungkin takut memperburuk suasana.
Akhirnya Arka menarik napas dalam-dalam dan berkata dengan nada tenang, meski jelas terpaksa. “Besok kita mulai lagi.”
“Terserah!” sahut Raka cepat. Ia mengalihkan pandangan, lalu melangkah pergi tergesa-gesa. Maya mencoba menyusul, namun ditolak dengan kibasan tangan Raka. Dimas akhirnya mempercepat langkah untuk mengejar Raka yang bergerak dengan cepat dan murka yang tidak bisa disembunyikan.
Aku, Maya dan Arka hanya bisa menatap punggung mereka yang perlahan lenyap dalam gelap.
“Arka, maksudmu tadi apa?” tanyaku, masih bingung.
Arka menatap kosong ke arah jalan. “Ada sesuatu yang dia sembunyikan. Luka itu ... cara dia bicara ... aku tidak yakin lagi kalau Raka benar-benar korban.”
Maya menunduk, menarik napas berat. “Selama ini kita melihat Raka hanya sebagai pihak yang terluka. Tapi ... ada hal-hal yang membuatku ragu. Informasi yang dia tahu, caranya menghindar. Seolah dia menyimpan sesuatu dari kita.”
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan kamu tadi? Bukankah kamu belum bercerita.” Arka memandang serius ke arah Maya.
“Tidak .... Tidak ada apa-apa,” sahut Maya dengan tergesa, namun jelas aku tahu jika dia menyembunyikan sesuatu dari aku dan Arka. Sepertinya Maya memilih untuk diam, karena takut akan terjadi sesuatu dengan dirinya atau juga kami semua.
Aku menggigit bibir. “Tidak mungkin.
Arka menghela napas dan tidak ingin memaksa Maya untuk bercerita tentang apa yang sebenarnya sudah dialaminya. Sepertinya pria ini hanya ingin merespons informasi ataupun kecurigaan Maya terhadap Raka. “Aku ingin percaya, karena memang ada bukti-bukti kecil yang mulai mengarah ke sana. Bahwa mungkin, Raka adalah bagian dari permainan ini dan kita bahkan tidak sadar.”
Kata-kata itu membuat bulu kudukku berdiri. Hening menyelimuti kami, hanya suara angin malam yang berdesir. Rasa takut dan perasaan dikhianati berbaur, menjerat dadaku hingga sulit bernapas.
“Kalau benar begitu ...” Maya berkata pelan, “maka musuh bisa saja ada di antara kita sendiri.”
Aku menggeleng mencoba menolak kemungkinan itu. Namun hatiku sendiri tak bisa tenang. Bayangan Raka kini menjadi teka-teki yang harus segera dipecahkan.
Maya kemudian berpamitan. “Malam ini kita cukupkan dulu. Arka, tolong antarkan Aleza pulang.”
“Bagaimana dengan kamu?” tanya Arka.
“Aku baik-baik saja, kalian tidak perlu khawatir. “ Maya memegang bahuku untuk menghilangkan kekhawatiranku terhadapnya.
“Tapi, Maya ....” Aku memegang tangannya karena khawatir ada apa-apa dengan Maya.
“Justru sekarang aku sedikit lega, mungkin kita akan segera menemukan titik terang. Arka, kamu antar Maya untuk istirahat.” Menoleh ke arah Arga dengan tatapan penuh harap.
Arka mengangguk dan aku melihat Maya melanjutkan langkahnya untuk meninggalkan kami dengan arah yang berbeda.
Aku pun segera berjalan bersama Arka. Di antara langkah yang pelan, ia menatapku dalam. “Aleza, aku tahu ada banyak hal yang kau simpan sendiri. Bukankah itu sangat melelahkan? Kau tidak perlu menanggungnya sendirian.”
“Aku baik-baik saja, Arka,” jawabku, berusaha terdengar tenang meski sebenarnya rapuh.
“Kalau begitu ... besok kita bicarakan lagi,” katanya lembut. Tangannya menyentuh bahuku pelan, memberi kehangatan di tengah dinginnya malam.
Kami berjalan beriringan dalam keheningan. Aku bisa merasakan sorot matanya yang meneduhkan sekaligus membuat jantungku berdegup lebih cepat. Seolah dunia menyisakan kami berdua saja. Saat pandangan kami bertemu, waktu terasa melambat. Aku merasakan detak jantungku berpacu liar, lalu tanpa sadar kami mendekat, hingga bibir kami bersentuhan.
Namun aku segera menarik diri, nafasku terengah. “Maaf, Arka ... aku belum siap.”
Dia tersenyum tipis, penuh pengertian. “Aku akan menunggu, Aleza. Sampai kau benar-benar siap.”
Kata-katanya membekas dalam hati. Ada getar aneh campuran aman dan cemas. Aman karena dia ada di sisiku. Cemas karena aku tahu dunia kami sedang berada di tepi jurang.
Sesampainya di depan rumah, ia menggenggam tanganku lebih erat. “Apapun yang terjadi, jangan ragu mengandalkanku. Aku siap membantu kamu.”
Aku menunduk, wajahku memanas. “Aku percaya padamu, Arka.”
Kami berpisah dengan senyum kecil, membawa pulang rasa hangat di tengah gelap yang dingin. Namun kehangatan itu langsung retak ketika ponselku bergetar di saku. Sebuah pesan masuk dari nomor misterius yang sama.
Kali ini hanya dua kata.
“Dia menguji.”
Aku terpaku. Menatap layar ponsel dengan jantung yang memukul-mukul dada. Perlahan aku mendongak, memandang jalanan depan rumah yang gelap dan sunyi. Tidak ada siapa pun, hanya bayangan malam yang terasa hidup, seolah mengawasi dari balik tirai hitam.
Raka dan Dimas sudah lama menghilang, tapi kata-kata itu membuatku merinding. Seakan-akan kehadiran mereka masih ada, menyisakan jejak yang menempel di udara.
Aku menggenggam ponsel erat, tubuhku gemetar. Pesan itu bukan sekadar ancaman melainkan sebuah peringatan. Tentang sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap dan mungkin lebih dekat dari yang aku kira.
Malam itu aku sadar, badai sesungguhnya baru saja dimulai.
Daftar Chapter
Chapter 1: Ruang Bagi Rasa
1,043 kata
Chapter 2: Meredam Kegelisahan
1,023 kata
Chapter 3: Momen Hangat Terganggu
1,176 kata
Chapter 4: Tatapan Penuh Tanya
1,153 kata
Chapter 5: Dinginnya Malam
1,044 kata
Chapter 6: Menatap Lama
1,346 kata
Chapter 7: Bayangan Tersembunyi
1,269 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!