Chapter 3: Terlintas
Semenjak kejadian kemarin, sepulang dari rumah sakit, Olive terus-menerus memikirkan sesuatu yang mengganjal sejak kemarin.
"AWAS!!" Sebuah mobil melaju begitu cepat, orang-orang yang melihat Olive sedang melamun di tengah jalan mulai meneriakinya agar menepi, tetapi pikirannya masih terasa kacau saat itu.
Dia tidak bisa berpikir sehingga membuat dirinya tidak menghiraukan teriakan orang-orang di sana. Bahkan suara klakson mobil beberapa kali terdengar dan si pengendara mulai menyadari ada yang tidak beres dengan mobilnya itu. Mobilnya melaju begitu cepat, tidak bisa dikendalikan lagi oleh si pengendara, rem mobil seakan tidak berfungsi lagi. Mobil itu semakin dekat kearah Olive, hal ini yang membuat si pengendara langsung refleks membanting stir agar tidak menabraknya.
"Aaaaa!!" Olive pun refleks berteriak ketika menyadari mobil itu hampir saja menabraknya.
Tuhan Maha baik, Dia masih memberikan pertolongan kepada Olive, di waktu yang sangat tepat.
Si pengendara keluar dari dalam mobil dan langsung menghampiri Olive. "Hati-hati, Neng! Jangan melamun di tengah jalan! Untung saja saya bisa menghindari kamu sehingga tidak ada yang terluka, tetapi mobil saya jadi lecet begini! Ganti rugi!" ucap si pengendara mobil memarahi Olive.
"Maaf, Pak. Saya akan ganti kerugian Bapak," ucapnya sambil menundukkan kepala.
Habis sudah tabungan Olive untuk mengganti kerusakan mobil si pengendara tadi, tidak memungkinkan baginya memberitahukan kejadian ini kepada ibunya. Hal ini disimpan olehnya seorang diri saja.
Hidup ini memang terasa berat, tetapi dia tidak bisa terus-menerus menyalahkan dirinya. Waktu terus berjalan, begitu juga dengan hidupnya yang harus terus berjalan walaupun sepahit apa pun yang akan dia lalui nanti, sekilas terpikir olehnya.
"Christa!" panggil seseorang di seberang sana, menatap Olive begitu dalam.
Wanita itu berjalan mendekati Olive, lalu tersenyum kepadanya. "Akhirnya kita bertemu lagi di sini. Lo kemana aja, Ta?"
"Anda siapa?" Olive mengerutkan dahinya.
"Gue Elina, Ta. Lo lupa sama gue?" Olive sangat bingung ketika mengetahui wanita yang ada di depannya saat ini, ternyata wanita itu begitu mengenali dirinya. Padahal dia tidak mengenal siapa wanita itu.
"Maaf." Olive menunduk.
"Gue sahabat lo, Ta. Masa dengan mudah lo melupakan gue begitu aja?" Elina merasa begitu sedih.
Ketika mendengar Elina berkata begitu membuat Olive ikut meneteskan air mata karena dia merasa bersalah tidak bisa mengingat tentang Elina.
"Maaf, saya gak bisa mengingat Anda." Dengan berat hati, Olive harus mengatakan yang sejujurnya. Semakin dia berusaha mengingat hal yang tidak bisa dia ingat, membuat dirinya tersiksa.
Dia kembali ke rumah dengan raut wajah yang begitu murung. Dia membuka dan membaca kembali diary yang pernah diberikan oleh Cleo kepadanya.
Hidup ini terasa begitu berat, ketika apa yang telah kita lalui selama ini, kini tidak berarti apa pun. Semua pengorbanan menjadi sia-sia. Berbagai rencana berakhir dengan ketidakpastian, hingga gagal. Ungkapan perasaan yang telah diutarakan sudah tidak berarti, semua kebahagiaan telah musnah begitu saja. Semua ini palsu! Dengan begitu mudahnya dia melupakan semua ini, kenangan kita bersama yang telah lama terjalin. Sakit banget rasanya, ketika harus menerima semua kenyataan ini.
Tiga tahun yang tidak berarti apa-apa baginya, tetapi sangat berarti dan berkesan bagiku, hal ini sangat menyiksa batin. Sepertinya diri ini tidak sanggup menahannya lebih lama lagi, rasanya ingin mengakhiri semua ini dengan segera.
Lembar pertama yang berisi penuh keputusasaan, membuat ingin pergi dari dunia ini.
"Gue yang menuliskan ini semua? Tapi, siapa orang yang gue maksud itu? Kenapa sulit untuk mengingatnya? Kenapa tidak ada terlintas sedikitpun kejadian itu?"
Olive membaringkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Dia kembali merenung dan teringat pada seseorang yang sudah pasti bisa membantu dirinya.
"Gue rasa, memang harus menanyakan hal ini pada Cleo. Dia pasti bisa bantu gue."
Olive mengambil handphonenya lalu menekan nomor telepon Cleo dan panggilan pun terhubung.
"Cleo! Gue perlu bertemu lo, sekarang juga! Gue tunggu di depan kampus. Ini penting."
Tut! Tut!
Belum juga Cleo menanggapi ucapannya, Olive lebih dulu mematikan sambungan telepon tersebut.
Di rumahnya, Cleo merasa kebingungan dengan tingkah Olive barusan.
"Olive aneh banget, belum juga gue jawab satu kata pun, malah udah dimatikan aja."
Tring!
Alex [Cle, apa kita bisa bertemu sekarang?] Pukul 15:00.
Cleo membaca pesan tersebut tetapi dia ragu untuk membalasnya.
Tring!
Alex [Kamu masih marah?] Pukul 16:00.
Karena tidak kunjung mendapat balasan, Alex kembali mengirimkan pesan kepada Cleo.
Cleo mengerti dan paham bagaimana sifat Alex, jika pesannya tidak dibalas sebanyak dua kali, dia akan mengirimkan pesan itu terus-menerus, hingga dia langsung menelepon berkali-kali sampai dijawab oleh Cleo. Hal ini bukan pertama kalinya, tetapi Alex sudah sering begini. Mau tidak mau, Cleo harus membalas pesannya itu.
[Tidak, tadi ada urusan sebentar.] Pukul 16:05.
Alex [Oke, aku tunggu di mall seberang Kampus Merdeka.] Pukul 16:08.
Cleo menutup handphonenya, lalu dia bergegas pergi ke tempat janjian.
Di depan mall, terlihat seorang pria dengan gaya rambut comb-over, mengenakan jas hitam dan juga kacamata hitam, berdiri sambil memainkan handphonenya.
Cleo melihat pria itu lalu mendekatinya. "Alex!" Orang yang ada di depannya saat ini adalah Alex, penampilannya begitu berbeda dari biasanya, Cleo hampir pangling melihat dia.
"Hai, Cle!" Alex tersenyum.
"Maaf, kamu pasti menungguku terlalu lama."
"Tidak juga. Ayo, ikut denganku, Cle!"
Ada rasa khawatir disertai ketakutan terus menghantui Cleo, dia sangat bingung dengan keputusannya ini, dia begitu ragu pada Alex.
"Cle? Hei! Kenapa berdiam di situ? Ayo, ikut denganku!" Alex meraih tangan Cleo lalu menggandengnya masuk ke dalam mall.
"Tanganmu dingin, Cle."
Cleo hanya diam.
"Cleo!" Lagi-lagi Alex memanggil Cleo yang sedang melamun.
"Cukup, Lex! Sudah cukup! Ini semua harus berakhir."
Keesokan harinya, Cleo masih terus memikirkan perkataannya kemarin itu pada Alex, yang membuat dia pergi begitu saja.
"Gue takut dia berbuat semakin nekat."
Mengurusi Alex sangat membuat Cleo begitu pusing, sehingga membuat dia melupakan satu hal yaitu janjinya pada Olive, yang kemarin memintanya untuk bertemu di depan kampus.
Kini, dia baru teringat akan hal itu setelah melihat banyak panggilan tak terjawab dari yang bersangkutan karena sedari kemarin dia tidak membuka handphone sama sekali.
"Olive, maaf." Cleo bingung harus berkata apa pada Olive ketika nanti bertemu. Dia tidak mungkin menceritakan kejadian yang sebenarnya telah terjadi kemarin dan tidak mungkin juga dia berkata jujur bahwa dia melupakan itu.
Kemarin hujan turun begitu deras, Olive masih setia menunggu Cleo yang tidak kunjung datang. Dia sangat yakin bahwa Cleo akan datang menemuinya, tetapi keyakinannya kini menjadi hilang, hilang sudah kepercayaannya pada Cleo, dikarenakan kemarin Olive berhujan. Saat ini dia tidak memungkinkan pergi kemana pun, tubuhnya terasa begitu lemas, suhu tubuhnya begitu tinggi.
Jangan bersedih, aku akan selalu ada untukmu. Suara asing tanpa wujud kembali terdengar.
"Jerry? Jerry? Itu kamu?" Olive terus-menerus mengigau nama Jerry.
Suara Olive yang mengigau nama Jerry pun terdengar sampai ke telinga ibunya yang sedang membersihkan rumah.
"Olive?" Ibu Graci melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 9 pagi.
Hari sudah siang, tetapi Olive belum juga bangun dan tidak hanya itu saja, barusan sempat terdengar suara Olive memanggil seseorang, hal ini membuat Ibu Graci menjadi sangat khawatir. Ibu Graci langsung berlari menaiki anak tangga, karena terburu-buru, hampir saja dia terjatuh, untungnya dia langsung refleks meraih pagar tangga.
"Olive! Olive!" Ibu Graci terus-menerus mengetuk pintu kamar Olive. Dia tidak bisa masuk ke dalam karena posisi kamar terkunci saat itu. Sangat khawatirnya dia ketika terdengar Olive masih terus memanggil nama orang yang sama yaitu Jerry. Dia pun kembali menuruni anak tangga untuk mengambil kunci serep.
Ketika dia ingin kembali ke kamar Olive sambil membawa kunci serep di tangannya, tetapi Olive sudah turun lebih dulu. Dengan wajah pucat, dia duduk di meja makan lalu merenung.
"Olive! Kamu sakit, Sayang?"
Olive menggeleng. "Tidak apa-apa, Ma. Olive gak sakit, Ma."
Ibu Graci menyentuh kening Olive. "Panas, kamu sebaiknya tidak ke kampus hari ini. Istirahat aja di rumah."
"Tapi, hari ini ada ujian, Ma."
"Tidak! Kamu di rumah aja. Kamu lagi sakit, Sayang."
Akhirnya Olive mengalah, dia kembali ke kamar untuk beristirahat.
Tring!
Mendengar suara handphonenya, dia langsung meraihnya dan mengecek pesan yang telah diterima dirinya.
Cleo [Maaf, kemarin gue gak datang ke sana. Nanti kita ketemu setelah ujian.] Pukul 09:00.
Cleo [Lo di mana? Dari tadi, gue gak ada lihat lo.] Pukul 09:05.
Olive pun membalas pesan dari Cleo setelah 30 menit telah berlalu.
[Maaf, gue sepertinya gak akan dapat izin dari mama, Cle. Gue sakit.] Pukul 09:35.
Setelah mendapat balasan dari Olive, Cleo semakin merasa bersalah. Dia berpikir penyebab Olive sakit karena menunggu dirinya kemarin.
"Cleo! Mana Olive? Biasanya kalian bareng terus." Laras mendekati Cleo yang sedang sendirian.
"Dia sakit," jawab Cleo singkat.
"Sakit?" Alex datang langsung merangkul Cleo.
"Sudahlah, Lex!" Cleo pergi begitu saja.
"Lo kembali lagi ke kampus ini, Lex? Sejak kapan?" tanya Laras penasaran.
"Gak perlu tahu, itu bukan urusan lo!" Alex pergi meninggalkan Laras dengan rasa penasarannya.
Gue suka lo, Lex. Laras hanya bisa berbatin.
Kebencian Laras pada Cleo semakin menggebu-gebu, apalagi sikap Alex barusan terhadapnya sangat menyakiti hatinya. Andai saja, Cleo tidak hadir dalam hidup Alex, pasti tidak akan terjadi seperti ini, Laras terus berpikir demikian.
"Ini semua karena Cleo! Sikap Alex begini karena lo, Cle! Kenapa semua yang gue punya selalu aja lo ambil?! Gue benci itu! Ditambah lagi sekarang lo dekat dengan orang yang selalu lo panggil dengan nama Olive!" Laras semakin emosi dan marah pada Cleo.
Laras dan Cleo dulunya sangat begitu dekat. Ketika satu kejadian yang mereka lalui di masa lalu, kejadian yang tidak bisa diterima oleh Laras membuat hubungan persahabatan mereka menjadi longgar. Bukan hanya masalah Alex, tetapi ada masalah lain yang membuat Laras lebih marah daripada soal Alex. Persahabatan mereka berdua menjadi hancur ketika salah satu sahabat mereka pergi meninggalkan mereka tanpa kabar dikarenakan Cleo.
Laras mengetahui hal ini setelah menemukan buku diary sahabatnya itu, yang di sana tertulis nama Cleo di dalamnya.
Daftar Chapter
Chapter 1: Siapakah Diriku Sebenarnya?
1,099 kata
Chapter 2: Sesuatu yang Aneh
1,118 kata
Chapter 3: Terlintas
1,649 kata
Chapter 4: Dahulu
1,487 kata
Chapter 5: Satu demi Satu
1,126 kata
Chapter 6: Waktu yang Memutuskan
1,016 kata
Chapter 7: Hari yang Mencekam
1,054 kata
Chapter 8: Kesedihan
2,178 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!