')">
Progress Membaca 0%

Chapter 3: Bab 3

Emery 23 Aug 2025 781 kata
GRATIS

"Permisi, Mbak. Saya mau mengurus pendaftaran rawat inap untuk pasien atas nama Kinan yang tadi ditangani pihak IGD."

"Sebentar, Pak. Bisa saya pinjam jaminan kesehatan atau KTP atas nama pasien?" tanya sang petugas pendaftaran ruang rawat inap sambil tersenyum salah tingkah melihat paras tampan Riko.

"Saya daftar pasien umum saja, Mbak. Tolong dirawat di ruang VIP saja. Sebentar saya cari KTP pasien di tasnya dulu!" Dengan posisi yang masih menggendong Rahma, Riko agak kesusahan mencari kartu identitas milik Kinan yang terdapat di dalam dompet yang berada di tas selempang yang tadi dibawa Kinan.

"Baik, Pak."

"Ini, Mbak. KTP-nya."

"Sebentar saya masukkan data pasien terlebih dulu."

Setelah menunggu beberapa menit akhirnya Riko selesai mendaftarkan Kinan.

"Ini sejumlah deposit yang harus dibayarkan selama pasien dirawat, Pak," petugas administrasi menunjukkan biaya yang harus dibayarkan oleh Riko sejumlah Rp. 15.000.000.

"Ini, Mbak. Pembayarannya menggunakan kartu debit."

"Ini kwitansi pembayarannya, Pak. Silakan ditunggu di depan ruang IGD, Pak. Sebentar lagi pasien akan langsung dipindahkan ke ruang inap."

"Baik, Mbak. Terima kasih." Riko kembali melangkahkan kaki menuju ruang tunggu di depan IGD. Hingga beberapa menit berlalu terdengar suara pintu ruangan IGD yang terbuka bersamaan dengan munculnya beberapa perawat yang mendorong brankar pasien. Tampak  Kinan berbaring di atasnya dengan kondisi yang sudah sadarkan diri. Dapat Riko lihat terdapat perban di kepala Kinan, sepertinya itu salah satu luka yang menyebabkan Kinan sampai mengeluarkan banyak darah.

"Loh … Mas Riko. Kenapa ada di sini?" tanya Kinan yang tampak bingung mendapati seorang pria yang sudah lama tidak bertemu dengan dirinya malah ikut menemaninya berjalan ke ruang perawatan.

"Maaf Kinan, tadi saya yang menabrak kamu saat kamu tiba-tiba berlari di jalan raya."

"Maaf, Mas. Semua salah saya karena main lari begitu saja."

"Sudah Kinan, sebaiknya kamu istirahat dulu. Jangan terlalu banyak pikiran supaya kamu bisa segera pulih."

"Baik, Mas." Kinan sebenarnya nampak bingung kenapa dirinya tidak melihat kehadiran sang sahabat, istri dari Riko yang bernama Yana. Namun karena keadaannya yang lemah bahkan luka di kepala Kinan yang berdenyut nyeri menyebabkan Kinan memutuskan untuk tidak banyak bertanya.

Sesampainya di ruang rawat Kinan dibantu oleh beberapa perawat memindahkan tubuh ringkihnya yang terdapat perban di kepala beserta selang infus yang masih terpasang di pergelangan tangan kirinya. Setelah para perawat pamit undur diri dari ruangan rawat Kinan, Riko berusaha mendekat dan melihat seberapa serius luka yang diakibatkan olehnya. Tiba-tiba Kinan merasa canggung apalagi melihat Riko yang terus menatapnya lekat sambil menggendong anak perempuan yang masih terlelap dalam tidurnya.

"Kinan, bagaimana kondisi kamu? Apa ada yang sakit?" tanya Riko setelah beberapa menit dirinya terpaku dan menyadari kalau Kinan merasa risih karena terus dipandanginya secara intens.

"Masih lemas dan agak sedikit pusing, Mas. Mas kok hanya berdua saja? Yana nggak ikut, Mas?" 

"Em … kamu sebaiknya jangan terlalu banyak berpikir dulu, Kinan. Saya izin pulang dulu karena sepertinya saya harus ganti baju dan mengantarkan Rahma supaya bisa istirahat di rumah. Nanti saya minta salah satu perawat menunggu kamu selama saya tidak ada. Kira-kira ada yang kamu perlukan? Supaya sekalian saya carikan dalam perjalanan pulang nanti."

"Kalau boleh tahu sekarang sudah jam berapa ya, Mas?" tanya Kinan terlihat gelisah.

"Sudah jam 11 malam, Kinan. Makanya saya mau izin pulang dulu sebentar ya?"

"Iya, Mas. Saya sekalian boleh minta tolong beritahukan kepada Ibu saya kalau saya ada di sini, Mas? Pasti saat ini Ibu saya cemas karena menunggu saya yang sudah larut malam tapi tidak kunjung pulang juga," ucap Kinan mengingat dirinya hanya tinggal berdua dengan sang ibu semenjak ayahnya meninggal dunia.

"Astagfirullah … saya hampir saja lupa kalau belum mengabari kondisimu kepada keluargamu. Atau saya coba telepon Ibu kamu dulu bagaimana?" Biar sekalian ibumu menyiapkan pakaian ganti selama kamu dirawat di sini."

"Maaf, Mas. Jadi merepotkan, soalnya Ibu saya tidak memiliki ponsel jadi mau tidak mau Mas harus mampir untuk mengabarkan kondisi saya," ucap Kinan sendu, pasalnya dia ingat sekali bahwa akibat musibah yang dialaminya membuat perekonomian keluarganya terpuruk bahkan untuk makan saja sulit karena hanya Kinan satu-satunya anggota keluarga yang mencari nafkah kini, sedangkan Kinan hanya dapat bekerja sebagai pelayan rumah makan untuk menyambung hidup dengan gaji yang bisa dikatakan jauh dari layak.

Hufh!

Riko membuang nafas kasar, melegakan nyeri di dada melihat kondisi Kinan yang cukup memperihatinkan. "Baiklah, kalau begitu saya dan putri saya pamit dulu ya. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam, Mas. Hati-hati di jalan."

Dengan tatapan kosong, Kinan memandang pintu ruangan rawat inap yang dilewatinya itu. Dia merasakan penyesalan yang amat dalam. Andai saja dia lebih hati-hati dan tidak terlalu terbawa emosi, mungkin dia tidak mengalami hal seperti ini. 

“Bagaimana aku bayar tagihan rumah sakit nanti? Gajian masih lama, terlebih kemarin sebagian uangnya sudah aku belikan beberapa makanan saat berkunjung ke rumah Bang Tama,” gumam Kinan lirih, sambil mengedarkan pandangan ke seisi ruang perawatan yang terlihat cukup mewah itu.

Daftar Chapter

Chapter 1: Bab 1

741 kata

GRATIS

Chapter 2: Bab 2

722 kata

GRATIS

Chapter 3: Bab 3

781 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 4: Bab 4

890 kata

GRATIS

Chapter 5: Bab 5

750 kata

GRATIS

Chapter 6: Bab 6

819 kata

10 KOIN

Chapter 7: Bab 7

738 kata

10 KOIN

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!