Chapter 3: ADA APA DENGAN HARI INI?
BAB 2
MENGUATKAN HATI
“Kamu yakin akan ikut dalam undangan tempat Bu Purwanti, Kinan?” tanya Bu Ratmi malam ini, ketika mereka duduk di ruang tengah usai makan malam sederhana mereka.
Bu Ratmi terlihat menyesap secangkir kopi yang menjadi kebiasaan beliau ketika usai makan. Sementara itu, Kinan menghadapi beberapa lembar ujian semester anak-anak didiknya.
“Insya Allah jadi, Bu.” Kinan menjawab lirih, mencoba menetralkan hatinya agar getarannya tidak sampai pada suaranya. Dia menutupi kegundahannya dengan sibuk mengoreksi hasil ujian, padahal hatinya risau. Bagaimanapun, tak mudah bagi Kinan untuk melupakan begitu saja kebersamaan manisnya bersama Arya beberapa tahun ini. Meski sejujurnya kebersamaan mereka tak selalu manis.
“Kamu yakin bisa kuat?” tanya bu Ratmi lagi, meragukan ketegaran Kinan. Perempuan itu menatap Kinan dengan tatapan ragu. Bagaimanapun Bu Ratmi tahu bagaimana hubungan antara Kinan dan Arya yang berlangsung sejak Kinan masih sekolah kelas tiga SMA, lima tahun lalu.
“Saya harus belajar profesional, Bu. Tidak mau mencampur adukkan urusan pribadi dengan pekerjaan.” Kinan menjawab penuh tekad dan keyakinan bahwa dia bisa melewatinya semua hal yang dikhawatirkan ibunya juga Damar.
Bu Ratmi menghela napas berat.
“Sejak semula Ibu sudah bisa meraba bahwa hari ini akan datang juga, Kinan. Hari dimana kamu akan dipermalukan karena menyanyi di pernikahan orang yang pernah dekat denganmu.” Bu Ratmi menyesap secangkir kopi yang mulai dingin.
Mendengar kalimat ibunya, Kinan menghentikan koreksinya dan menatap ibunya dengan senyum lembut berusaha menenangkan.
“Ibu nggak usah risau dan berprasangka buruk. Saya sudah nggak apa-apa kok dengan semuanya. Bagaimanapun, kami nggak berjodoh. Artinya, kita nggak baik untuk satu sama lain, Bu.”
“Tapi kalau mereka punya sedikit hati, mungkin tak akan meminta kamu yang menyanyi.” Bu Ratmi masih saja belum bisa menerima permintaan mereka apalagi dengan keputusan Kinan untuk menerima permintaan mereka itu.
“Sudahlah, Bu. Kita doakan saja pernikahan mereka bahagia.” Kinanthi menenangkan ibunya. Padahal Kinan juga butuh ketenangan tersendiri.
Bu Ratmi mengangguk. “Ibu doakan kamu akan mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik dari Arya, Kinan. Bagaimanapun kamu berhak bahagia. Dan kebahagiaanmu adalah impian Ibu.”
“Aamiin, terima kasih untyuk doa baiknya, Bu.” Kinan tersenyum lembut, memegang tangan ibunya dengan lembut. Memberikan ketenangan agar ibunya tidak terus memikirkan dirinya. Bagaimanapun Kinan merasa bahwa dia baik-baik saja ketika akhirnya harus berpisah dengan Arya, setelah kebersamaan mereka selama lima tahun kemarin.
Setidaknya itu yang coba Kinan tunjukkan.
Bu Ratmi mengangguk. Air mata bening nan tipis tak bisa disembunyikan dengan baik. Ada rasa nelangsa yang memenuhi rongga dada perempuan setengah baya itu.
“Ibu nggak perlu sedih, saya baik-baik saja kok meski sudah putus dengan mas Arya. Ibu lihat kan, sejauh ini saya masih baik-baik saja? Saya punya Ibu yang selalu baik dan sayang sama saya. Saya punya anak didik yang bisa mengalihkan perhatian saya, saya punya pekerjaan meskipun hasilnya tidak melimpah.”
Bu Ratmi mengangguk, kemudian bangkit dan meraba rambut Kinanthi dengan lembut, merapalkan doa-doa untuk kebaikan Kinanthi.
“Tidurlah, besok kamu harus bangun pagi, kan?”
“Tunggu selesai beberapa lembar dulu, Bu.”
Bu Ratmi hanya mengangguk kemudian berjalan menuju ke kamarnya. Tangis perempuan itu tak bisa dibendung ketika pintu kamar tertutup. Perasaan sakit dan terhina karena putusnya hubungan Kinanthi dengan Arya hanya karena perbedaan status sosial mereka.
Kinanthi tentu tak mengatakan penyebab putusnya hubungan mereka. Dia hanya bilang bahwa mereka tak lagi cocok satu sama lain. Namun, dari beberapa kasak-kusuk yang tak sengaja Bu Ratmi dengar, putusnya hubungan mereka karena orang tua Arya tak menyetujui hubungan itu.
Bu Ratmi dan Kinanthi memang hanya orang kecil yang tidak sebanding dengan orang tua Arya yang juragan dan tengkulak padi. Bu Ratmi bahkan bekerja menjadi pembantu di rumah Pak Kades Purwandi yang juga kakak kandung Bu Purwanti, calon mertua Arya.
Apalagi dengan posisi Kinanthi yang selain sebagai guru honor di sekolah dasar, dia juga menjadi penyanyi di panggung-panggung hajatan, membuat orang tua Arya semakin tak setuju dengan hubungan Kinanthi dan Arya.
Awalnya, semua bisa dilewati. Tetapi pada akhirnya Arya memilih menyerah pada hubungan mereka. Alasannya sederhana, karena Kinan tak bersedia berhenti menjadi penyanyi panggung hajatan.
Bukankah sejak mula Arya tahu bahwa Kinan adalah seorang penyanyi panggung hajatan?
***
Pagi ini, di kantor sebuah bank swasta nasional, Dana memasuki ruang pimpinan. Tujuannya adalah mengajukan cuti yang memang selama beberapa tahun ini tak pernah diambilnya karena Dana merasa tak ada hal penting yang membuatnya harus cuti.
Tetapi kali ini dia tak bisa lagi menolak ajakan ibunya untuk hadir di acara hajatan bulik Pur di kampung.
“Tumben kamu mengajukan cuti, Dan?” tanya Pak Bima yang juga merasa aneh dengan pengajuan cuti Dana.
Laki-laki dewasa yang tampan itu tersenyum. “Ibu meminta saya untuk mengantar ke hajatan bulik saya, Pak. Di kampung,” jawab Dana jujur.
“Jangan-jangan kamu mau dicarikan jodoh, Dan?” seloroh pak Bima.
Seketika wajah Dana merah menahan malu karena sepertinya di kantor ini hanya dia laki-laki yang masih betah melajang. Lainnya bahkan sudah punya anak. Tetapi Dana tetap santai karena toh usianya belum genap tiga puluh tahun.
Memang ada beberapa teman pegawai yang berusaha mendekat, namun Dana memilih untuk menghindar dengan halus. Bukannya Dana tak suka dengan perempuan, tapi dia merasa belum bertemu dengan perempuan yang benar-benar cocok dengan hatinya.
“Hanya acara pernikahan adik sepupu saya, Pak.” Dana menjawab dengan senyum canggung.
Pak Bima tertawa. “Baiklah, Pak Dana. Kalau mau ambil cuti, kali ini saya izinkan asal sesuai prosedur administrasi.”
“Baik, terima kasih, Pak.” Dana mengangguk lega karena akhirnya bisa mengambil cuti. “Kalau begitu saya permisi dulu.”
Dana bangkit hendak meninggalkan ruangan pak Bima ketika pimpinan bank itu memanggilnya kembali.
“Pak Dana …”
“Ya, Pak?” Seketika Dana berhenti dan berbalik menghadap Pak Bima kembali.
“Ehm, kalau Pak Dana butuh teman pendamping untuk hadir dalam hajatan buliknya, Debi sepertinya sedang libur kuliah.”
Deg!
Jantung Dana berdetak keras dengan penawaran yang diberikan oleh pak Bima. Siapa yang tidak mengenal Debi? Perempuan cantik yang sedang menyelesaikan kuliah S2-nya di ibukota, yang juga putri tunggal Pak Bima.
Seisi kantor sepertinya tahu tentang Debi yang kadang kala mengantar dan menjemput pak Bima di kantor kalau sedang libur kuliah. Tapi Dana tidak serta merta menerima penawaran itu dengan senang hati, karena jelas mereka tidak seimbang, Bahkan untuk sekedar jalan bareng. Apalagi tak pernah terlintas sedikitpun di hati Dana untuk mendekati Debi meski dia kenal dengan gadis cantik itu.
“Ah, terima kasih, Pak. Tapi sepertinya akan merepotkan dik Debi karena urusan keluarga akan memakan waktu beberapa hari,” tolak Dana dengan halus. Tak lupa senyumnya dia sunggingkan agar tak menyinggung pak Bima.
Pak Bima tertawa dan mengangguk. “Baiklah, Pak Dana. Semoga acaranya berjalan lancar dan Pak Dana bisa bekerja kembali.”
Dana mengangguk. “Terima kasih, Pak.”
Dengan langkah lebar Dana meninggalkan ruangan Pak Bima. Dia harus segera mengurus administrasi cutinya kali ini. Namun tak urung, tawaran pak Bima membuat Dana merasa canggung dan khawatir kalau pak Bima tak berkenan dengan penolakannya.
“Ada apa ke ruangan pak Bima, Dan?” tanya Vivian, rekan satu kantor yang terkenal intens mendekati Dana.
“Minta izin mau ambil cuti.”
“Cuti? Tumben kamu ambil cuti? Acara apa?” tanya Vivian penasaran.
“Bulikku hajatan. Adik sepupuku menikah,” jawab Dana santai mengingat percakapan mereka bukan percakapan formal.
“Lalu kamu?” tanya Vivian menatap Dana yang menjulang di hadapannya.
Dana mengerutkan keningnya. “Aku? Memangnya ada apa dengan aku?” tanya Dana yang tak mengerti kemana arah pertanyaan Vivian.
Muka Vivian merah padam sehingga dia berdehem untuk menetralkan hatinya yang malu.
“Kamu butuh teman untuk hadir mungkin?”
‘Oh, My God! Godaan apa lagi ini? Tadi tawaran pak Bima untuk membawa anaknya jadi teman di hajatan. Dan sekarang tawaran terbuka dari Vivian yang dengan percaya diri menawarkan diri untuk menemani.’
“Oh, aku mengantar ibuku ke acara keluarga itu. Jadi mungkin akan butuh waktu sedikit lama sehingga aku tak ingin merepotkan siapapun.” Dana kembali menolak godaan itu dengan halus.
Dan Vivian bagai ditampar mendengar jawaban itu.
“Baiklah kalau begitu. Tapi kamu bisa menghubungi aku kapan saja kalau butuh teman untuk hadir ke undangan,” ujar Vivian tak menyerah sebelum dia meninggalkan tempat itu.
Dana tertegun. ‘Ada apa dengan hari ini?’
***
Daftar Chapter
Chapter 1: PROLOG
307 kata
Chapter 2: UCAPAN ADALAH DOA
1,170 kata
Chapter 3: ADA APA DENGAN HARI INI?
1,299 kata
Chapter 4: LOVE AT FIRST SIGHT
1,643 kata
Chapter 5: SECUIL KISAH
1,585 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!