')">
Progress Membaca 0%

Chapter 4: LOVE AT FIRST SIGHT

Yantie Wahazz 12 Sep 2025 1,643 kata
GRATIS

BAB 3

FIRST SIGHT

 

Hari ini, Kinan izin dari mengajarnya karena kebetulan ujian semester sudah selesai sehingga tinggal mengoreksi hasil ujian mereka. Kinan sudah meminta pada kepala sekolah untuk izin hari ini sehingga dia bisa bersiap sejak awal untuk pentas di pernikahan Arya.

“Kamu yakin, Kinan?” tanya Bu Ratmi sekali lagi, tadi pagi sebelum berangkat bekerja ke rumah Pak Lurah.

Kinan tersenyum lembut dan memegang tangan ibunya.

“Ibu sudah mengenal saya sejak dalam kandungan, kan? Ibu tahu siapa dan bagaimana saya. Sejauh ini saya bisa kan, Bu, menjalani semuanya dengan baik?”

“Tapi ini pernikahan Arya, Kinan. Orang yang dekat denganmu selama bertahun-tahun.”

“Tapi dia bukan laki-laki terbaik untuk Kinan, Bu.” Gadis itu berkata lembut dengan senyumnya yang teduh. Padahal kalau boleh jujur, Kinan juga ingin melepaskan semua kegundahan yang beberapa waktu belakangan ini semakin merajai pikirannya.

Bu Ratmi mengangguk dengan wajah sendu. Siapa yang tak sendu melihat putri satu-satunya sedang terpuruk karena ditinggal menikah oleh kekasih yang sudah lima tahun bersama? Meskipun memang Kinan berusaha kelihatan tegar seperti apa yang selalu dikatakannya. tetapi Bu Ratmi juga seorang perempuan. Beliau tahu apa yang dirasakan oleh Kinan.

“Baiklah. Ibu percaya kamu bisa dan akan jadi perempuan hebat yang tangguh.” Bu Ratmi menepuk bahu Kinan sebelum berangkat ke rumah Pak Lurah, bekerja sebagaimana biasa.

Kinan hanya mengangguk masih dengan senyumnya. Tetapi ketika Bu Ratmi keluar dan pintu rumah kemudian tertutup, Kinan terduduk lemas di kursi. Dia tak bisa lagi bertahan. Pertahanannya runtuh. Tangisnya luruh.

Kali ini dia tak ingin menahannya lagi. Dia membiarkan tangisnya pecah. Dia tak lagi ingin terlihat tegar. Isakan lirih terdengar sampai ke telinganya sendiri, membuat hatinya semakin terasa nelangsa oleh kisah hatinya yang menyakitkan.

Kemudian berbagai kisah kebersamaannya bersama dengan Arya selama tahun ini kembali berkelebat tampil di kepalanya. Silih berganti bagai kaleidoskop cerita yang sambung menyambung, silih berganti.

“Mas nggak malu punya kekasih seorang penyanyi panggung hajatan?” tanya Kinan suatu hari pada Arya ketika laki-laki itu menyatakan cintanya.

Arya tersenyum lembut. Kala itu, Arya yang sudah kuliah di tahun kedua sedang pulang karena libur semester.

“Mengapa harus malu? Menyanyi bukan pekerjaan hina, kan? Selama kamu menerima aku menjadi orang terdekatmu, maka aku juga akan menerimamu tanpa syarat.”

Kinan yang kala itu masih kelas dua SMA, bimbang. Beberapa teman sekolahnya memang memiliki teman dekat, tapi sebagian besar dari mereka adalah teman sekolah. Sementara usia Arya sudah empat tahun di atas Kinan. Tidakkah mereka menilai lain nantinya?

“Aku tak memaksamu menjawab sekarang, Kinan. Kamu masih punya banyak waktu untuk berpikir.” Ucapan Arya kala itu benar-benar membuai Kinan.

Kinan mengangguk. Dan kemudian semua mengalir alami. Kedekatan mereka terjalin normal. Beberapa kali Arya bahkan mengantar Kinan yang kebetulan ada job manggung, menunggu perempuan itu menyanyi hingga selesai. Menikmati suara dan kecantikan Kinan dengan hati yang berbunga tentu saja.

Meskipun Kinan tak menjawab secara lugas, jelas bahwa dia bisa menerima kehadiran Arya dalam hidup dan hatinya. Hubungan itu kemudian berlanjut hingga lima tahun kemudian.

Euforia mereka masih terasa ketika Arya diterima bekerja di sebuah perusahaan kontraktor. Kinan masih ingat benar, Arya membelikannya cincin emas dengan permata warna merah jambu. Bahkan, hingga kini cincin itu masih Kinan simpan dengan baik.

Tapi semua mimpi-mimpi indah dan angan-angan itu buyar ketika tiba-tiba Arya datang dan mengatakan untuk putus hubungan.

“Mas bercanda, kan?” tanya Kinan dengan senyum ambigu ketika itu. Berharap bahwa Arya hanya sekedar bercanda.

Tapi sikap diam lelaki itu menjawab semua keraguan Kinan, bahwa Arya serius dengan ucapannya. Tak mungkin Kinan memaksakan kebersamaan jika Arya tak menghendaki.

“Ini bukan bercanda, Kinan. Mas minta maaf. Terlalu tinggi tembok di antara kita. Ibu dan Bapakku masih juga belum memberikan restunya,” ujar Arya dengan menunduk.

Seketika, dunia Kinan rasanya seperti runtuh. Kalau saja ada petir yang menyambar, rasanya tak sedahsyat ini efeknya.

Kinan hanya termangu, dunianya mendadak senyap. Bahkan angin malam yang semula berhembus sejuk, kini seolah diam tak bergerak. Hening.

“Ya … saya paham, Mas.” Kinan berkata lirih, menunduk. Sekuat tenaga menahan agar air tidak mengalir dari matanya.

“Maafkan aku, Kinan,” ujar Arya menunduk, tak berani menatap Kinan yang duduk kaku di sebelahnya.

Kinan hanya bisa tersenyum, meski hatinya seolah berada di titik nol. Tak merasakan apapun. Entah kesal, marah, atau rasa lain yang bahkan membuatnya mati rasa seketika.

“Tak perlu minta maaf, Mas. Ini bukan salah njenengan atau salah saya. Kita mungkin sama-sama salah karena tak melihat keadaan. Nekat maju tanpa mempertimbangkan hal-hal vital yang tak bisa kita abaikan.” Kina  berkata lirih.

Entah kekuatan dari mana yang Kinan dapatkan sehingga dia nekat berkata bijak, meski hatinya menangis.

“Padahal aku masih sangat mencintai kamu, Kinan. Tapi ….” Arya tak meneruskan kalimatnya.

“Tapi cinta njenengan tak cukup kuat untuk bertahan dan mempertahankan kebersamaan kita, Mas.” Kinan menyambar cepat, menoleh untuk melihat sejauh mana lelaki itu menyadari kalimatnya. Kali ini Kinan tak bisa menahan diri.

Kinan masih memiliki setitik harapan agar lelaki itu menyanggah tuduhannya. Tetapi nyatanya Arya diam, seolah mengiyakan apa yang Kinan katakan.

“Ya. Kamu benar, Kinan. Sekali lagi aku minta maaf karena telah membuatmu terluka.”

Kinan diam, kemudian mengangguk.

“Saya juga minta maaf jika selama kebersamaan kita sudah melakukan hal-hal yang membuat njenengan tidak berkenan, Mas.” Kali ini Kinan tak bisa menahan geratan dalam suaranya.

“Tidak, Kinan. Kamu tidak bersalah. Justru aku yang salah. Kuharap, kita masih bisa menjadi teman yang baik di masa mendatang.”

“Insya Allah, Mas.” Kinan mengangguk.

Setuju? Sejujurnya tidak. Tetapi bukankah hanya itu yang bisa Kinan lakukan? Setuju atau tidak, mereka tetap harus berpisah.

Sejak malam itu, mereka tak lagi bertemu satu sama lain. Kinanti berusaha sejauh mungkin menghindar jika tanpa sengaja bertemu dengan Arya. Awalnya, tak mudah ketika menjalani hari tanpa sapa, kabar atau obrolan ringan dengan Arya. Tetapi sebisa mungkin, Kinan membiasakan diri untuk menjalani hari tanpa laki-laki itu.

Tak mudah, tetapi Kinan bisa melakukannya meski dengan hati yang berdarah-darah. Kinan merasa baik-baik saja, hingga kemudian tersiar kabar bahwa Arya baru saja melakukan lamaran pada Astuti, putri sulung Bu Purwanti, yang juga keponakan lurah Purwandi.

Dunia Kinan kembali runtuh.

Lalu suara ponsel yang berdering tanda ada panggilan masuk membuyarkan lamunan Kinan pagi ini. Nama Damar terlihat memanggilnya. Dengan segera Kinan mengangkat panggilan itu, namun dia menetralkan dulu suaranya agar tidak terdengar serak sisa tangisnya tadi.

“Halo, Mas?” sapa Kinan begitu dia menerima panggilan itu. Dia segera memperbaiki suaranya yang terdengar sedikit serak.

“Halo, Kinan. Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Damar curiga.

“Baik, Mas. Saya baik-baik saja. Ada apa, Mas?” Kinan berusaha memunculkan nada riang dalam suaranya, agar kecurigaan Damar tak berlanjut.

“Maaf, sekedar memastikan bahwa kamu bisa manggung hari ini.” Damar jelas khawatir Kinan akan mengurungkan niatnya manggung di pernikahan Arya.

“Oh, saya akan datang, Mas. Ini sedang berkemas,” ujar Kinan berbohong.

“Ah, ya. Syukurlah kalau begitu. Nanti kalau kamu sudah siap, kabari saja. Aku sendiri yang akan menjemputmu.”

“Lho, nggak usah, Mas. Saya bisa datang pakai sepeda motor seperti biasa. Kan nggak jauh?”

“Tidak, Kinan. Kali ini aku harus memastikan kamu datang dengan performa terbaikmu.”

Kinan bimbang kemudian mengangguk meski Damar tak akan melihat anggukannya. “Baik, Mas.”

Panggilan ditutup, dan Kinan menatap cermin di hadapannya. Dia menegakkan badannya penuh rasa percaya diri. 

“Cukup, Kinan! Sudah cukup kamu menangisi laki-laki itu! Jangan sia-siakan hidupmu hanya untuk meratapi laki-laki yang tak pantas kamu ratapi. Berjanjilah ini tangisan terakhirmu untuk Arya. Selanjutnya, berikan senyum paling pantas untuk dia!” Kinan berucap pada dirinya sendiri. Membangun rasa percaya dirinya untuk bangkit dari keterpurukan mental yang dialaminya.

Namun lagi-lagi tangisnya pecah. ‘Ini yang terakhir,’ janjinya.

 

***

 

Perjalanan dari kota cukup lancar karena jalanan menuju ke kampung bulik Pur cukup bagus. Ponsel Bu Asih kembali berdering dan nama Dewi muncul di layarnya.

“Halo, Dew?” Bu Asih menjawab cepat.

“Ibu sudah sampai mana? Acara sudah mau mulai ini.” terdengar suara tak sabar dari Dewi, adik kandung Dana yang sudah datang lebih dulu.

“Iya, ini juga sebentar lagi sampai. Masmu tadi ada sedikit masalah dengan izin cutinya,” jawab Bu Asih sebelum akhirnya menutup telepon.

“Nggak sabaran banget sih?” gerutu Dana sambil mengarahkan mobilnya menuju ke jalanan yang sedikit kecil dari jalan poros.

“Biasa, perempuan. Kamu kalau nanti punya istri baru paham seberapa repotnya perempuan,” sanggah bubAsih dengan senyum.

Dana tersenyum mendengar komentar ibunya. 

Dari jarak beberapa puluh dari lokasi rumah Bulik Purm Dana sudah bisa melihat ramainya acara hajatan kali ini. Suara musik bahkan mulai terdengar dengan suara nyanyian yang merdu dan tak biasa.

“Sudah ramai betulan, Bu,” ujar Dana ketika mereka turun dari mobil untuk bergabung dengan tamu lain yang mulai berdatangan.

“Namanya juga acara kawinan, Dan. Siap-siap cari pasang mata, Dan. Siapa tahu jodohmu ada di antara mereka.”

Wajah Dana merah padam. Dia kemudian memantas batik hitam yang kali ini dia padankan dengan celana bahan kain warna putih. Kontrasnya warna pakaiannya kali ini semakin memperjelas kulitnya yang coklat bersih.

“Suara penyanyinya merdu ya, Dan?” tiba-tiba Bu Asih mengomentari suara penyanyi.

“Namanya juga penyanyi, Bu.”

“Siapa tahu orangnya juga cantik, Dan.”

Lagi-lagi Dana menggelengkan kepala mendengar ibunya yang sepertinya sudah sangat ingin ngunduh mantu.

Begitu masuk ke tenda acara, segenap sanak saudara menyambut kehadiran Dana dan Bu Asih dengan gempita. Dana sesekali menjawab pertanyaan mereka dengan jawaban singkat dan seperlunya. Tak lupa, Dewi juga menyambut mereka dengan wajahnya yang sedikit cemberut.

“Sudah, nggak usah cemberut lagi. Yang penting kan Ibu sama Mas sudah datang?” hibur Dana menenangkan Dewi.

“Ya tapi semua saudara sudah pada ngumpul dari kemarin-kemarin, Mas.” Dewi yang meskipun sudah dewasa tapi masih juga manja itu bersungut-sungut kesal.

Dana tersenyum melihatnya.

“Lha kamu kan tahu, Mas nggak sebebas saudara yang lain,” jawab Dana dengan sabar.

Lalu Dewi menggandeng lengan Dana, mengajaknya utuk duduk di kursi yang disiapkan untuk kerabat. Tanpa sengaja mata Dana melihat ke arah panggung rendah dimana ada seorang penyanyi yang sedang melantunkan sebuah lagu.

Di saat yang sama, si penyanyi juga menatapnya, meski sekilas dengan senyum yang mungkin saja untuk semua tamu yang hadir. Tapi tetiba jantung Dana serasa berhenti berdetak beberapa saat, sebelum kemudian berdentam lebih kencang.

Dunia Dana seakan berhenti berputar, kosong, hening, menyisakan dirinya dan si gadis penyanyi.

Kinanthi.

 

***.

Daftar Chapter

Chapter 1: PROLOG

307 kata

GRATIS

Chapter 2: UCAPAN ADALAH DOA

1,170 kata

GRATIS

Chapter 3: ADA APA DENGAN HARI INI?

1,299 kata

GRATIS

Chapter 4: LOVE AT FIRST SIGHT

1,643 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 5: SECUIL KISAH

1,585 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!