Chapter 3: bab 3
Sudah hampir sebulan Rumiyati resmi menyandang gelar sebagai janda kembang. Setiap hari dia ramai dibicarakan orang-orang. Semua warga kepo, ingin tahu lelaki mana yang akan dipilih wanita cantik tersebut sebagai suami kedua. Puluhan pasang mata selalu mengintai semua gerak-gerik Rumiyati.
Jadi males keluar rumah kalau siang, keluh Rumiyati dalam hati. Dia benar-benar tidak nyaman karena harus menjadi artis dadakan di desanya sendiri. Perempuan bertubuh sintal itu memutuskan untuk lebih banyak beraktivitas di dalam rumah kalau tidak ada yang mendesak untuk dikerjakan di luar sana.
Malam hari, saat yakin penduduk desa telah lelap di balik selimut, Rumiyati sesekali berjalan-jalan di sekitar rumah demi menghirup udara segar. Tempat tinggalnya masih dikelilingi sawah. Hanya bagian depan saja yang terhubung dengan pelataran luas, lalu tersambung ke jalan desa yang masih tanah.
Rumiyati sedang duduk di teras depan sembari ditemani secangkir kopi dan sepiring pisang goreng sebagai pelengkap. Mengenakan lingerie berwarna hitam, baju tidur ala orang kota, membuat perempuan itu tampak seksi. Dia membungkusnya lagi dengan selimut tebal untuk melawan hawa dingin yang begitu ganas memagut tubuh.
Pakaian itu memang favorit Subandi. Semasa hidupnya, sang suami meminta Rumiyati mengenakan lingerie ketika berada di kamar. Terlihat menggairahkan, kata dia. Karena itulah, Rumiyati mengoleksi beberapa lingerie di lemari pakaian walau pada kenyataannya mereka lebih banyak tak mengenakan busana ketika tidur. Cukup selembar selimut ... dan pelukan.
Dingin. Aku semakin rindu kamu. Mas Bandi ....
Sudah tengah malam, tetapi mata masih enggan terpejam. Bayangan suami tercinta selalu menghantui setiap kali dia masuk ke dalam kamar. Ingatan akan pergumulan terakhir mereka menjadi trauma tersendiri bagi Rumiyati.
Apa benar aku yang sudah menyebabkan Mas Bandi meninggal?
Bulir-bulir bening kembali mengalir membasahi pipi hingga sebuah suara mengejutkannya.
“Malam, Mbak Rum. Kok, belum tidur.” Seorang pemuda bertubuh cungkring datang menyapa.
Rumiyati terkejut. Dia segera menghapus pipi yang basah dan menoleh ke arah suara.
“Oh, Bandot. Lagi ndak bisa tidur, Ndot.” Rumiyati berusaha tersenyum.
Pemuda bernama asli Bondan itu berusia dua tahun lebih muda dari Rumiyati. Dia terlihat lebih tua, mungkin karena kumis dan jambang dibiarkan tumbuh lebat walaupun tidak panjang. Ditambah lagi, pekerjaan dia sebagai petugas keamanan desa mewajibkan untuk begadang. Kata orang, kurang beristirahat di malam hari itu membuat wajah jadi cepat tua.
“Alhamdulillah.”
“Lah, kok, alhamdulillah toh, Ndot?” Rumiyati memandang heran.
“Lah, yo. Alhamdulillah nggak bisa tidur daripada nggak bisa bangun?” Bandot terkekeh-kekeh.
Rumiyati ikut tertawa mendengar guyonan Bandot.
“Nyapo toh, Mbak? Masih sedih?” tanya pemuda itu.
“Bukan cuman sedih, Ndot. Risih juga denger omongan macem-macem dari warga. Mbak sudah denger semua itu.” Rumi memberi isyarat pada Bandot yang mengenakan seragam hansip untuk duduk di depannya.
Bandot beringsut mendekat, mencomot pisang goreng walau belum ditawari oleh sang empunya. Rumiyati tersenyum. Mereka berdua memang terbilang cukup akrab. Jadi, tidak perlu banyak basa-basi.
“Jangan terlalu dipikirin, Mbak. Wis biasa, omongane warga ya gitu itu. Mumet sendiri kalau terus didengerin.” Laki-laki itu berucap di sela mengunyah camilan.
Rumiyati kemudian menyampaikan segala keluh kesah dan unek-unek di hati. Lumayan, mumpung ada pendengar setia. Bandot sendiri dengan telaten mendengarkan.
Kapan lagi bisa lihatin perempuan cantik sambil ngemil gratis. Sayangnya ... nggak ada kopi. Mbak Rum nggak peka banget, sih. Nawarin, kek, gerutu Bandot di dalam hati, masih sibuk mengunyah pisang goreng kedua.
“Kopine buat aku ya, Mbak. Ngantuk aku,” ucap Bandot nekat, lalu meraih gelas kopi di depan Rumiyati. Dia langsung menenggak cairan hitam itu sampai habis.
“Oalah, Ndot. Ngomong toh kalau pengin kopi. Ta buatin dulu.” Rumiyati tertawa kecil melihat kelakuan Bandot yang ugal-ugalan. Namun, dalam hati Rumiyati kagum dengan lelaki satu ini. Dalam pandangannya, pemuda itu cuek, tidak terpengaruh pada rumor, gosip serta ucapan warga. Dia selalu netral, tidak mau terlibat jauh dengan pihak mana pun.
Penduduk di Desa Telomoyo ini cenderung membuat kelompok-kelompok, baik itu laki-laki maupun perempuan. Masing-masing punya grup dan cenderung memegang teguh keputusan bersama mereka. Mereka juga tak segan untuk berdebat sengit dengan grup lain demi mempertahankan asumsi serta pemikiran kelompoknya.
“Lah ta tunggu-tunggu nggak ditawarin. Nggak usah wis, Mbak. Ini aja cukup, kok. Sampeyan kalau mau, ta anterin ke Mbah Siman. Ngobrol-ngobrol aja dulu, Mbak. Siapa tahu ada solusi supaya cepet dapet jodoh lagi.”
Bandot menceritakan tentang Mbah Siman yang tinggal di desa sebelah. Beliau terkenal dengan kemampuan linuwih-nya, memberi solusi pada berbagai masalah yang dihadapi pasien. Tidak hanya mengobati penyakit, teluh, melancarkan rezeki, tetapi juga jodoh.
Dengan penuh semangat, Bandot membeberkan keberhasilan Mbah Siman dalam menangani masalah banyak orang. Bumbu sana-sini tentu ditambahkan agar Rumiyati makin kepincut.
Rumiyati tertarik. Dia ingin menanyakan perihal kematian Subandi untuk menjawab keraguan hatinya. Kalau sang suami meninggal bukan karena dia, lega. Kalau ternyata ada kaitan dengannya, minimal ada solusi untuk langkah ke depan. Tentu saja, Rumiyati masih ingin berumah tangga lagi.
“Jam berapa besok kamu bisa nganter aku, Ndot?”
“Jam delapan malam yo, Mbak. Ta bawa motor. Kita muter lewat sawah aja biar warga nggak tahu.”
“Yo wis, sepakat! Besok ta tunggu. Suwon loh, Ndot.”
Bandot pamit untuk berkeliling desa lagi, menjalankan tugas sebagai petugas keamanan desa. Rumiyati menahan, meminta pemuda tersebut untuk menunggu sesaat. Dia bergegas masuk ke rumah. Sejurus kemudian, perempuan itu sudah kembali membawa selembar uang ratusan ribu dan tas kresek hitam berisi gula dan kopi.
“Buat beli rokok. Makasih banyak ya, Ndot.” Rumiyati mengulurkannya kepada Bandot dan diterima dengan senang hati.
Rumiyati merasa sedikit lega. Ada secercah cahaya untuk dia memperbaiki hidup dan rumah tangga yang sirna. Dia segera kembali ke kamar.
Bandot memandang dari belakang, memperhatikan betis mulus Rumiyati yang mengintip dari ujung selimut.
Lumayan. Dapet duit, gula kopi, pisang goreng. Nggak rugi mepet orang cantik, kaya pula.
Bandot lanjut berkeliling dengan hati riang. Sebenarnya, dia tak sanggup juga berlama-lama di dekat Rumiyati. Malam sepi, hawa dingin, wanita cantik. Bukankah itu tiga hal yang sangat menggoda untuk disatukan? Perpaduan sempurna ciptaan alam semesta.
Sudah lama Bandot membayangkan kedekatannya dengan Rumiyati. Ah, mungkin kebanyakan pria di Desa Telomoyo juga sama. Itulah alasan, kenapa banyak gadis dan ibu-ibu tidak menyukai Rumiyati. Mereka merasa iri. Di belakang, mereka tertawa melihat nasib nahas yang menimpa Subandi.
Kejam, memang. Sering kali sebuah anugerah akan diikuti dengan ancaman, kedengkian, serta aral melintang. Berkah kecantikan atau ketampanan tidak hanya mendatangkan puji serta puja, tetapi juga serangkaian caci maki dan sumpah serapah. Akan selalu ada dua sisi bertolak belakang.
Bandot menahan hasrat, tidak terburu-buru mendekati Rumiyati. Dia merasa ada kesempatan. Situasi buruk yang sedang dihadapi oleh janda kembang tersebut, akan dia manfaatkan untuk tebar pesona, menumbuhkan rasa nyaman dan cinta.
Usia bukan halangan. Toh, dia terlihat lebih tua dari Rumiyati. Kalau berhasil menikahinya, hidup Bandot pasti akan berubah drastis. Seorang hansip, tiba-tiba jadi juragan, kaya dadakan, plus dapat istri cantik pula. Sempurna!
Bandot sudah selangkah lebih dekat. Dia tertawa bungah sepanjang malam.
Daftar Chapter
Chapter 1: Salahkah aku bersuami?
1,214 kata
Chapter 2: Bab 2
1,192 kata
Chapter 3: bab 3
1,195 kata
Chapter 4: bab 4
1,159 kata
Chapter 5: Bab 5
1,101 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!