Chapter 3: Ruang Bawah Tanah
“Tolong! Tolong, aku!"
Suara itu terdengar lagi. Tepat ketika jarum jam menunjukkan tengah malam dan menganggu tidurku yang nyenyak. Selama tiga Minggu, aku tinggal di rumah baru ini. Setiap malam juga, suara itu terus mengusikku. Tak hanya suara, tetapi kadang aku melihat anak perempuan usia kisaran 9 tahun berjalan di ruang tentang dengan membawa boneka beruang berwarna coklat. Wajahnya pucat, baju putihnya penuh dengan bercak darah di bagian dada.
Ayahku sudah membeli rumah ini dua bulan ke belakang. Namun, karena agenda kantor yang numpuk sehingga kami baru bisa menempatinya bersamaan dengan dinas ayah yang dipindahkan ke daerah sekitar sini.
Pertama kali, aku menginjakkan kaki di rumah ini. Aku tidak suka auranya. Aku merasakan aura jahat yang begitu kuat. Tuhan sudah memberikan kelebihan padaku yaitu bisa merasakan dan berkomunikasi dengan makhluk gaib, tetapi ayah dan ibunya tidak tahu tentang kelebihan ku ini. Alasannya, simple, aku tidak mau membuat mereka khawatir dan ketakutan dengan apa yang aku saksikan. Biarlah, hanya aku saja yang mengalaminya.
Kelebihanku ini, kadang membuatku lelah dan ingin menutup mata batin. Mungkin aku bisa hidup dengan tenang. Ya, tapi mereka para arwah gentayangan tidak bisa kembali ke alamnya karena masalah yang mereka alami di dunia belum juga selesai. Akulah yang mereka jadikan perantara untuk segala urusan mereka. Namun, tak semua masalah bisa diselesaikan olehku. Ada beberapa kasus, aku harus minta tolong pada orang yang memiliki mata batin yang sama denganku agar bisa dengan mudah berkomunikasi langsung tanpa ada rasa takut sedikit pun.
"Tolong. Tolong lepaskan aku dari sini!"
Suara itu belum juga hilang. Kali ini, aku benar-benar ingin tahu, alasan ia menganggu malam tenangku. Apa hanya ingin meminta bantuanku saja, seperti arwah lainnya atau ada hal yang ingin disampaikan.
"Aku kok penasaran. Siapa pemilik suara ini? Kalau didengerin sih, kayak suara anak perempuan kisaran usia 8 tahunan," tebakku.
Aku beranjak dari tempat tidurku, lalu berjalan ke luar kamar menuju sumber suara. Sekilas, suara itu terdengar begitu jelas, posisinya seperti dekat dengan kamarku. Namun, ternyata sumber suara itu jauh. Dari arah dapur, aku melihat anak perempuan yang memegang boneka beruang coklat dengan mengenakan baju putih penuh bercak merah. Anak perempuan itu, mirip sekali dengan anak perempuan yang pernah aku lihat dua hari yang lalu di ruang tengah. Anak itu menatapku dengar tajam.
"Tolong, bebaskan aku dan kuburkan aku dengan layak," ujar anak perempuan itu. Wajahnya berubah sendu.
"Siapa namamu? Dan apa yang sudah terjadi padamu hingga kamu meminta pertolonganku?" tanyaku penasaran. Aku yakin ada sesuatu yang serius terjadi padanya. Aku ingin tahu masalahnya, sebelum membantunya terlepas dari belenggu yang membuatnya tak bisa pulang ke alam yang semestinya.
"Namaku Sheila," ucap anak perempuan itu singkat.
Tak ada kata berikutnya yang keluar dari mulutnya. Ia malah melayang meninggalkan dapur menuju kamar satu-satunya yang tidak boleh aku masuki. Sebenarnya, aku juga penasaran dengan kamar itu. Pasti ada suatu di dalam sana.
Anak perempuan itu masuk ke kamar itu, lalu melangkah menuju salah satu rak yang hanya ada satu buku saja yang berdiri. Ia mengubah posisi buku itu jadi miring ke sebelah kanan. Tiba-tiba, aku merasakan lantai bergetar dan tak jau dari tempatku berdiri. Ada lantai yang terbuka dan berubah menjadi tangga menuju ke arah bawah tanah. Ternyata rumah ini memiliki ruang rahasia di bawah tanah. Pantas saja, ayah melarangku masuk ke kamar ini. Rasa ingin tahuku semakin bertambah, saat Sheila menunjuk satu ruangan yang tertutup.
"Jasadku ada di sana, tetapi aku tak bisa masuk ke sana," ucap Sheila sambil memeluk boneka beruangnya lagi.
"Kenapa? Bukankah, kamu bisa keluar masuk dengan leluasa?" tanyaku heran karena biasanya arwah yang menemuiku bisa tembus benda mati, seperti pintu, jendela, dan lain-lain.
"Di balik pintu itu, ada mantra. Jadi, aku tidak masuk ke sana. Mungkin jasadku hanya tinggal tulang-belulang karena aku sudah meninggal 4 tahun lalu," jelas Sheila dengan nada sedih.
"Aku penasaran, kenapa kamu bisa meninggal?" tanyaku ingin tahu penyebab kematian anak perempuan itu.
"Kamu akan tahu sendiri setelah masuk ke sana," jawab Sheila.
Aku tak banyak bertanya lagi. Kemudian, aku masuk ke ruangan itu. Benar saja, di balik pintu ada kertas yang berisi mantra. Mungkin, mantra inilah yang membuat arwah anak perempuan itu tak bisa masuk ke ruangan ini. Untuk menghilangkan mantra itu, aku mengambil kertas itu, lalu membakarnya. Kebetulan, di saku celanaku ada korek api. Akhirnya, arwah anak itu bisa masuk ke dalam. Ia pun menunjukkan padaku sebuah kresek hitam di sudut ruangan. Aku mengambil kresek itu dan membukanya. Di dalam kresek itu, ada jasad yang tinggal tulang belulang. Tiba-tiba sekelebat bayangan muncul bersamaan dengan sakit kepala yang luar biasa.
Bayangan itu memperlihatkan, pria berbaju hitam yang sedang menyiksa anak perempuan dengan gaun putih yang sedang memegang boneka beruang. Aku yakin, anak itu adalah Sheila. Tapi, siapa pria itu? Kenapa dia menyiksa Sheila membabi-buta seperti itu?
"Kamu harus mati anak kecil. Aku tak akan membiarkan satu orang pun menjadi saksi perbuatanku, termasuk anak kecil sepertimu," teriak pria itu sambil menghujamkan pisau ke dada anak itu sebanyak 5 kali.
Suara pria itu, mengingatkanku pada seseorang yang tak asing, bahkan sangat dekat denganku. Apa jangan-jangan, pria itu adalah …
Derit pintu terdengar, bayangan-bayangan itu lenyap seketik. Aku membuka mata dengan napas yang memburu. Dari arah belakang aku mendengar, suara tepuk tangan.
"Wah, wah, ternyata kamu sampai juga ke ruangan rahasia ini."
Aku menoleh. Di sana, berdiri pria yang tak lain adalah ayahku. "Ayah, apa Ayah yang membunuh Sheila?"
"Iya, anak kecil itu sudah melihat semua yang ayah lakukan. Jadi, anak itu harus ayah habisi. Kalau tidak, ia akan menjadi saksi mata, lalu ayah bisa masuk penjara. Apa lagi, ibu anak itu yang menjadi persembahan bulanan untuk Nyi Ireng Rahayu," jelas Ayahku dengan raut wajah beringas.
Melihat wajah Ayah yang seperti itu, Aku merasa ia bukan lagi Ayah. Namun, setan yang merasukinya. Ayah yang penyayang hilang entah ke mana? Aku teringat sesuatu. Tentang hilangnya ibu satu tahun lalu yang sampai sekarang belum juga ketemu.
"Ibu? Apa Ayah menjadikan Ibu tumbal?" tanyaku memastikan tebakanku salah.
Ayah malah tertawa terbahak-bahak, "Ya, kamu cerdas sekali. Ibumu bukan hilang, tapi terpaksa ayah jadikan tumbal. Sekarang, untuk menyempurnakan kekayaan Ayah, Nyi Ireng Rahayu menginginkanmu."
"Aku? Kenapa harus aku?" tanyaku heran.
"Nyi Ireng Rahayu mencari manusia yang bisa melihat arwah. Ayah baru tahu, kalau kamu bisa melihat arwah. Jadi, Nyi Ireng meminta kamu untukku tumbalkan. Aku harus berterima kasih, karena arwah anak perempuan itu membawamu sampai ke ruangan ini dan memudahkan pekerjaanku," jelas Ayah sambil mengambil sesuatu dari balik jaketnya, pisau.
Aku melangkah mundur ketika Ayah maju mendekatiku. Sheila tak bisa menolongku karena tak memiliki kekuatan untuk melawan Ayahku. Berulangkali, ia meminta maaf padaku. Ia merasa bersalah karena sudah membawaku pada situasi sulit seperti ini.
Untungnya, aku pernah ikut karate hingga bisa menangkis pukulan demi pukulan yang diberikan Ayah. Satu pukulan ku mengenai dada Ayah. Ia pun ambruk, bahkan tenaganya sudah habis. Kemudian ia duduk bersila sambil komat-kamit. Aku tidak tahu, Ayah sedang melakukan apa? Sepertinya, ia sedang membaca mantra untuk memanggil Nyi Ireng Rahayu. Benar saja, tiba-tiba angin berembus kencang. Sheila hilang entah ke mana, sedangkan aku mau tidak mau harus bertarung melawan majikan ayahku itu.
Aku tak pernah menyangka akan melawan makhluk gaib yang memiliki kekuatan besar. Padahal, aku hanya memiliki kelebihan bisa melihat arwah saja. Namun, aku merasakan ada makhluk gaib yang masuk ke dalam ragaku. Aku sempat bertanya siapa dia? Ternyata ia adalah buyutnya dulu yang memiliki kelebihan yang sama denganku dan juga ilmu yang lainnya. Nama buyutku itu adalah Nyi Imas.
Perkelahian antara Nyi Imas dan juga Nyi Ireng Rahayu terjadi. Keduanya, memiliki kekuatan yang sama kuat, tetapi ada satu hal yang akhirnya membuat Nyi Ireng Rahayu kalah yaitu dendam dan ambisi yang terlalu besar. Nyi Imas berhasil melenyapkan Nyi Ireng Rahayu, begitu pun dengan Ayah. Pria itu mati terkapar dengan tubuh melepuh.
Arwah Nyi Imas keluar dari tubuhku. Tubuhku sedikit sempoyongan. Di depanku, berdiri perempuan berkebaya hijau ala wanita Jawa. Rambutnya disanggul ke belakang. Ia tersenyum padaku.
"Perkenalkan, aku Nyi Imas. Aku yang menjagamu selama ini," ucap Nyi Imas.
"Jadi, selama ini, kamu yang selalu menolongku saat kesusahan?" tanyaku tak percaya, kalau selama ini memiliki penjaga yang tak kasat mata.
Nyi Imas hanya menganggukkan kepala. Sheila muncul lagi. Ia memintaku untuk menguburkan tulang belulangnya di tempat yang layak beserta korban tumbal yang lainnya. Aku tak bisa melakukan semua itu sendirian. Akhirnya, aku meminta pihak kepolisian untuk membantu serta menjelaskan semua kejadian itu. Walaupun, mereka semua pasti tidak akan mempercayai ceritaku.
Daftar Chapter
Chapter 1: Buta
1,803 kata
Chapter 2: Lunas
1,443 kata
Chapter 3: Ruang Bawah Tanah
1,415 kata
Chapter 4: Diteror Mantan Hantu
1,653 kata
Chapter 5: Semua Salah Kalian
625 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!