Chapter 2: Bab 2
“Anjing, gua kesiangan!” Umpatan pertama yang keluar dari mulut Arya setelah terbangun di pagi ini. Umpatan itu keluar karena matanya berhasil menangkap angka pada jam yang menempel di dinding.
Dia pun bergegas pergi ke kamar mandi dengan umpatan-umpatan yang maih saja keluar dari mulutnya yang bau naga. Sial, dewi fortuna sedang tidak berada di kamar mandi. Ada seseorang yang berada di dalamnya. Sedangkan itu adalah satu-satunya kamar mandi yang terdapat di rumahnya. Ukuran rumah yang memang tidak terlalu besar yang membuatnya hanya memiliki satu kamar mandi.
Dia mencoba mengetuk pintu yang terkunci untuk mencari siapa gerangan yang ada di dalamnya. Namun, tidak ada tanggapan sedikitpun dari dalam, sedangkan dari luar tidak terdengar suara aktivitas orang sedang mandi. Sekali lagi dia memastikan dengan memutar gagang pintu itu, berharap kemungkinan kalau pintu itu sedang macet. Meski selama ini belum pernah terjadi.
Arya kembali mengumpat.
Beberapa saat kemudian, Arya tersadar. Jam segini, ibunya pasti sedang menyiapkan sarapan, sedangkan ayahnya pasti sudah mandi dan siap sarapan. Jadi, satu-satunya orang yang sudah pasti berada di dalam adalah musuh bebuyutannya. Dia pun akhirnya berani untuk berteriak di depan pintu. “Woi, cepet! Gua buru-buru!”
Sedangkan seseorang yang sedang berada di kamar mandi itu hanya bisa tertawa tertahan, meski sebenarnya dia sudah selesai mandi.
Sebenarnya, sebelum mendengar ketukan pintu dan suara dari luar, tangannya sudah memegang gagang pintu, tapi sengaja dia urungkan.
Jika saja Arya tidak dikejar waktu, sudah pasti tentu dia memilih untuk tidur kembali dari pada menunggu di depan kamar mandi tanpa kepastian.
Dengan terpaksa dia menggunakan jurus andalan untuk bisa mengeluarkan orang yang ada di dalamnya. Jurus yang sebenarnya sangat merugikan dirinya sendiri. Lagi-lagi, apa boleh buat demi masa depannya di kota lain.
“Oke, kalau lo keluar sekarang, gua kasih ceban!” bujuk Arya lantang.
Tidak ada respon. Arya tahu kalau begitu tawarannya belum sesuai. Dia mencoba menaikkan tawaran tadi menjadi seratus ribu.
Berhasil. Pintu itu perlahan terbuka sedikit. Dari celah itu muncul sebuah kepala dengan raut wajah penuh kemenangan. Tangan kanannya pun menjulur. “Mana duitnya?”
“Kan, gua mau mandi. Mana pegang duit. Ntar!”
“Amb—.” Ucapan gadis itu terpotong lantaran tangannya keburu ditarik oleh Arya hingga tubuh mungil itu pindah keluar. Dengan gesit, orang yang menariknya bergegas masuk dan pintu langsung tertutup.
“Awas, liat aja nanti!” ancam gadis kecil yang memiliki nama lengkap Dian Anggraeni itu. Kemudian pergi meninggalkan kamar mandi dengan dendam.
★★★
Dalam keadaan seperti ini, mandi bukanlah ritual yang harus dikerjakan dengan khusuk dan lama. Tak sampai lima menit, Arya menyudahi ritualnya itu. Kemudian dengan terburu-buru pergi ke kamarnya untuk berpakaian.
Kaos polos warna hitam, kemeja flanel bermotif kotak-kotak, celana jins hitam dan sepatu converse hitam-putih yang sudah sedikit pudar warnanya, kini sudah menyatu dengan tubuhnya. Setelah itu dia meraih tas ransel dan kamera DSLR sebagai barang bawaannya menuju kota impian.
Setelah semua siap, Arya keluar dari kamarnya dan langsung menuju di mana keluarganya sedang menikmati sarapan sebelum melaksanakan aktivitas masing-masing.
“Kamu jadi berangkat hari ini, Ar?” tanya Retno kepada anak pertamanya yang masih berada beberapa langkah dari meja makan.
“Jadi, bu.” Tangan Arya meraih sandaran kursi untuk menggesernya lalu dirinya duduk di sana.
“Kak Arya beneran mau pindah?” tanya Dian yang memang sudah mendengar rencana musuh bebuyutannya itu akan pindah kuliah di Jogjakarta.
Saat-saat seperti ini, atau sedang akur, Dian selalu memanggil kakaknya dengan sebagaimana mestinya. Namun, jika sedang mode Tom and Jerry, jangankan nama, embel-embel ‘Kak’ saja tidak akan keluar dari mulutnya.
“Beneran, lah.” Arya meneguk segelas minuman yang sudah tersedia di depannya.
“Yah … nanti kalau Dian kangen, gimana?” ucap Dian dengan wajah yang dibuat polos. Belum sempat kakaknya mengucapkan sesuatu, Dian sudah kembali angkat bicara dengan perubahan mimik wajah yang sangat berbanding terbalik dengan tadi. “Kangen duitnya, maksudnya.” Senyum liciknya pun keluar.
“Dasar, kecil-kecil udah mata duitan. Mau jadi apa nanti kalau udah gede.”
“Mau jadi orang kaya, lah.” Dian menjulurkan lidahnya tanda mengejek.
“Kalau mau jadi orang kaya, ya kerja. Bukan minta-minta.”
“Dian masih kecil, mana bisa mikir yang seperti itu.”
“Dasar!”
“Sudah, Ar. Kalian tuh kalau bareng, berantem terus kerjaannya.”
“Kak Arya duluan yang mulai.”
“Lah, kenapa jadi gua?”
“Sudah, Ar. Kamu tuh sudah gede juga, masih aja suka ribut sama adiknya.”
Arya diam, hanya meneguk habis sisa minumannya setelah sepotong roti habis dia makan. Kemudian dia berpamitan kepada kedua orang tuanya. Saat hendak pergi meninggalkan tempat itu, dia dihadang oleh Dian lalu tiba-tiba saja melakukan hal yang tak disangka-sangka oleh Arya. Dian memeluk tubuh Arya meski sedikit kesusahan.
Arya segera melepaskan kedua tangan Dian yang melingkar di pinggangnya lalu mencoba untuk mensejajarkan tingginya dengan adiknya. Di posisi itu, Arya bisa melihat dengan jelas mata adiknya yang sudah berkaca-kaca. Meski mereka ibaratkan air dan minyak, tapi ada satu tempat yang memang menyatukan mereka, kebersamaan.
“Kak Arya kapan pulangnya?” tanya Dian sesenggukan.
“Berangkat aja belum, udah tanya kapan pulang,” balas Arya.
“Ya, kan ….” Dian memainkan kedua telunjuknya.
“Udah, ah. Kakak mau berangkat dulu. Keburu ketinggalan kereta.”
“Tapi Dian masih pengin sama Kak Arya,” ucapnya polos.
“Tapi Kakak harus pergi.”
“Tapi … tadi duitnya belum dikasih. Katanya mau ngasih seratus ribu tadi.” Lalu Dian meringis seperti kuda.
“Dasar anak ….”
“Udah cepet sini duitnya,” pinta Dian.
Arya terpaksa memberikan selembar uang sebesar yang sudah disepakati di depan kamar mandi tadi. “Nih.”
“Ah, lumayan dapet seratus ribu. Bisa ditabung biar jadi orang kaya nanti kalau udah gede.”
Arya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah adik satu-satunya itu. Meski kerjaannya selalu ribut, sebenarnya Arya sangat sayang kepada adiknya itu. begitupun juga sebaliknya.
★★★
Sekitar pukul 4 sore, kereta yang membawa Arya pergi meninggalkan kota kelahirannya, akhirnya tiba juga di kota yang menjadi tujuannya itu.
Begitu Arya menginjakkan kaki di lantai stasiun itu, ada rasa yang sama seperti setiap kali dia ke kota ini. Atmosfer kota ini memang tidak pernah berubah sama sekali, batinnya. Bahkan bagi Arya, setiap kali pergi ke kota ini, yang dia rasakan justru seperti pulang ke rumah. Bukan karena silsilah ibunya yang memang berasal dari kota ini, melainkan kota Gudeg dengan segala isinya mampu membuat Arya merasa nyaman dan betah, seperti di rumah.
“Udah dari tadi?” tanya Arya basa-basi kepada seseorang setelah sampai di ruang tunggu.
“Sengaja, kan nyuruh aku dateng jam tiga tepat?” balas seseorang itu dengan kesal karena merasa sudah dibohongi oleh Arya.
“Pepatah mengatakan, pengalaman adalah guru yang paling baik. Inget, kan tahun lalu gua suruh jemput jam berapa, lo datengnya jam berapa.”
“Ini Jogja, Bro. Nggak usah pake lo-gua segala. Udah gitu malah ngebacot.”
“Lagian nggak pantes juga gua ngomong aku-kamu sama lo,” kilah Arya setelah duduk.
“Munyuk malah tetenguk,” gerutunya dalam bahasa jawa. “Ayo, udah bosen aku nungguin kamu di sini. Undah untung aku tetep nunggu, nggak aku tinggal pulang tadi.”
“Duduk bentar, Ru. Pegel, nih badan,” ucap Arya lesu. “Eh, ngomong-ngomong munyok tadi artinya apa?”
“Munyuk artinya kamu,” jawabnya ketus.
“Bukankah kamu dalam bahasa jawa itu kowe, ya?”
Heru hanya bergeming, lalu bergegas pergi.
Terpaksa Arya beranjak dari tempat itu lalu menyusul sepupunya sambil sibuk mencari kata ‘munyuk’ di dalam ponselnya.
“Asu!” umpat Arya dalam bahasa jawa setelah menemukan arti kata yang dicarinya. “Gua dikatain monyet.”
★★★
“Kita naik motor, Ru?” tanya Arya di area parkir.
“Menurutmu kita naik apa? Pesawat?” ucap Heru ketus.
“Ya, kirain jemput orang spesial pake mobil gitu.”
“Spesial ndasmu kui. Kalau nggak mau naik motor, pesen aja gocar, sana,” perintah Heru yang sudah berada di atas sepeda motornya.
“Lo, tuh udah kuliah masih aja suka ngambekan gitu,” ujar Arya.
“Asu, malah bacot.” Rasa kesalnya kepada Arya lantaran tadi dibohongi saja belum mereda, kini malah ditambah lagi dengan ucapan Arya yang seperti itu.
“Udah, nggak usah marah-marah gitu, santai aja, Bro,” balas Arya santai.
★★★
Hanya butuh waktu sekitar lima belas menit saja dengan mengendarai sepeda motor untuk sampai di rumah Lastri, Kakak tertua dari ibunya Arya. Rumah yang akan dijadikan tempat tinggal Arya selama kuliah di kota ini. Tadinya Arya berniat untuk kost saja, tapi Budhenya memaksa. “Sudah, kamu tinggal di rumah Budhe saja, biar rame. Toh, di sini ada kamar kosong yang bisa kamu pakai. Uang buat kost juga bisa kamu tabung atau keperluan yang lain,” kata Lastri waktu itu kepada Arya via telpon.
Meski rumah Lastri berada di tengah kota, tepatnya si sebelah timur Alun-alun Kidul, tetapi rumahnya sangat nyaman dan asri. Itu karena terdapat beberapa pohon sawo kecik yang tersebar di beberapa titik dan ada juga beberapa tumbuhan lainnya.
Setelah sampai, Arya langsung menghampiri wanita paruh baya yang tengah asyik menonton televisi itu. Arya menyapa dan melakukan seremoni kecil. Pertanyaan apa kabar seolah-olah tidak boleh terlewatkan.
“Makin cakep aja kamu, Ar. Beda sama terakhir kamu main ke sini, setahun yang lalu,” sanjung Lastri.
“Ah, bisa aja Budhe. Perasaan sama aja, nggak ada yang berubah,” kilah Arya tersenyum. “Oh iya. Pakde ke mana?”
“Tadi lagi pergi, ndak tahu ke mana.”
“Oh, pantes nggak kelihatan.”
“Ya, sudah. Kamu mandi sana, istirahat dulu. Kamarnya sudah Budhe siapin dari kemarin.”
“Baik, Budhe. Oh, iya. kamarnya yang mana?”
“Kamar yang biasa kamu tempatin kalau ke sini.”
“Oh, oke. Siap Budhe. Kalau begitu aku pamit dulu ke kamar.”
“Iya, Ar. Nanti kalau mau makan, ambil aja langsung di dapur. Budhe juga udah siapain.”
“Iya, makasih, Bude.”
Daftar Chapter
Chapter 1: Bab 1
1,119 kata
Chapter 2: Bab 2
1,683 kata
Chapter 3: Bab 3
1,359 kata
Chapter 4: Bab 4
1,539 kata
Chapter 5: bab 5
1,613 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!