')">
Progress Membaca 0%

Chapter 3: Sebuah Nama

Azizah Noor Qolam 29 Aug 2025 1,177 kata
GRATIS

Om Andre, Umi, dan Tante Hani, tiba pukul 09.00 pagi. Mereka membawa makanan untuk sarapan dan juga baju ganti untuk kami berdua. Syahnaz yang sudah terbiasa mandi sebelum subuh langsung menuju kamar mandi. Badannya terasa lengket sekali, sedangkan Fatan menyantap sarapan yang dibawakan Umi. 

 

Karena tidak boleh banyak yang menjaga wanita itu, Fatan menyuruh Umi, Om Andre dan Tante Hani untuk pulang ke Jakarta. Biar ia dan Syahnaz saja yang menunggui wanita itu sampai sadar. Mereka bertiga pun akhirnya pulang, sedang saudaranya yang lain masih di lokasi kemah. Sayang rasanya kalau pulang begitu saja karena mereka sudah mengeluarkan uang yang cukup mahal untuk menyewa lapangan itu jika harus pulang sebelum perjanjian sewanya habis. 

Fatan meletakkan piring yang sudah kotor. Tak sengaja Fatan melihat ada pergerakan dari tangan wanita itu. Fatan bukan main senangnya. Tak hanya tangan, kedua netra wanita itu pun terbuka. Ia langsung menghampiri wanita itu.

“Alhamdulillah, kamu sudah sadar." Fatan sangat senang sekali. 

“Kamu siapa?” tanyanya sambil mengucek-ucek matanya. “Aku ada di mana?” 

"Perkenalkan namaku Fatan. Sekarang kamu ada di rumah sakit. Kalau boleh tahu namamu siapa?” tanya Fatan. 

“Namaku? Aku ... aku ... siapa?” tanya wanita itu linglung. 

Fatan menyergitkan dahi. Lantas berpikir, apa mungkin wanita itu mengalami amnesia? 

“Mas, kenapa di sini gelap, ya? Apa mati lampu?” tanya wanita itu sambil terus mengucek matanya. 

“Apa kamu tidak bisa melihat? Ini siang hari.” Fatan ingin meyakinkan bahwa wanita itu tidak buta.

“Aku benar-benar tidak bisa melihat apa-apa,” ucap wanita itu ketakutan. 

Fatan melambaikan tangan di depan matanya. Namun, pandangan wanita itu tampak lurus saja, tak mengikuti gerakan tangannya. Ia pun yakin kalau wanita itu tak hanya hilang ingatan, tetapi juga kehilangan penglihatannya.

Setelah mengantar Umi, Om Andre, dan Tante Hani ke depan rumah sakit. Syahnaz kembali ke ruangan Tulip. Melihat wanita itu sudah sadar, ia langsung menghampiri kakaknya. 

“Syukurlah kamu sudah sadar.” 

Fatan kaget mendengar suara Syahnaz yang agak keras. Tanpa aba-aba, ia menarik tangan adiknya itu dan mengajaknya keluar ruangan. 

“Aduh, sakit tahu, Kak!” Syahnaz meringis karena Fatan menariknya terlalu keras. 

“Maaf. Tapi, Sya, sepertinya wanita itu hilang ingatan," jelas Fatan. 

“Apa? Amnesia maksud kakak?” Syahnaz terkejut. 

Fatan menganggukkan kepala. “Bukan hanya itu. Ia juga kehilangan penglihatannya.”

“Apa?” Syahnaz lagi-lagi dibuat terkejut dengan perkataan Fatan. 

Tanpa mengajak Fatan, ia kembali masuk ke ruangan Tulip. Ia menanyakan identitas wanita itu. Namun, hanya gelengan kepala yang ia dapatkan. Sepertinya wanita itu mengalami Amnesia Disosiatif. Terbukti ia tidak mengingat segala identitas pribadinya. Jangankan mengingat alamat tempat tinggal, tanggal lahir, dan hal yang lainnya, nama pun ia tidak tahu.

Syahnaz pun mengecek penglihatan wanita itu. Benar kata kakaknya, wanita itu kehilangan penglihatan. Mungkin benturan di kepala yang membuat penglihatan dan ingatannya hilang.

Syahnaz memegang kepala yang sedikit berdenyut, ia baru ingat sedari tadi pagi belum ada makanan yang masuk ke dalam perutnya. Ia keluar dari ruangan itu, lalu meminta dokter untuk menangani wanita itu. Untungnya dokter tidak sedang berkunjung ke ruangan lain. Sehingga, tak butuh waktu lama, Syahnaz dan dokter Jihan tiba di ruangan Tulip. 

Dokter Jihan memeriksa mata wanita itu, ia membuka mata Kanan dan mengarahkan senter kecilnya. Begitu pun dengan mata kirinya. Wanita itu sudah sepenuhnya pulih. Hanya saja ingatan dan penglihatannya hilang. 

“Kondisi pasien sudah stabil. Nanti akan ada perawat yang datang untuk melepas infusnya. Dokter Syahnaz, kita kembali ke ruangan saya!” titah dokter Jihan sambil melangkahkan terlebih dahulu.

“Kakak, saya boleh ikut, Dok!” pinta Syahnaz. Ia ingin Fatan tahu semuanya. 

Dokter Jihan menganggukkan kepala. 

Syahnaz melirik sang kakak dan memberi kode untuk mengikutinya.

“Sebentar, ya. Kami tinggal dulu.” 

Dokter Jihan, Syahnaz, dan Fatan sudah berada di sebuah ruangan khusus dokter. Dokter Jihan menatap dua orang yang ada di hadapannya. Pasien yang ditanganinya kali ini tidak biasa, ia harus membicarakan hal-hal penting dengan Syahnaz dan juga Fatan. 

“Pasien sudah stabil. Besok, Insyaallah sudah bisa pulang! Tapi, masalahnya. Pasien korban pemerkosaan dan juga penglihatan dan ingatannya hilang. Apa kalian sudah melapor ke polisi?” tanya Dokter Jihan serius.

Syahnaz sudah akan mengeluarkan suaranya. Namun, Fatan sudah terlebih dahulu menjawab. 

“Aku rasa belum waktunya kasus ini di laporkan polisi. Ia baru sadar. Untuk diberi pertanyaan pun, ia tak akan menjawab apa-apa,” jelas Fatan.

“Lalu, bagaimana?” Dokter Jihan meminta solusi.

“Sementara aku akan membawanya ke rumah saya di Jakarta. Biaya rumah sakit, saya yang akan menanggungnya,” tegas Fatan mantap. 

Syahnaz melirik ke arah Fatan dengan heran. Ia merasa kakaknya itu mempunyai sebuah rencana yang ia tidak tahu apa? 

“Baiklah. Aku akan membuat surat perjanjian. Jika terjadi masalah di luar kesehatan pasien. Kami tidak pertanggung jawab sama sekali.”

“Dokter tenang saja! Ia aman bersama saya. Saya akan mengurus semuanya.”

Setelah mengakhiri pembicaraan dengan Dokter Jihan, Fatan dan Syahnaz kembali ke ruangan tempat wanita itu dirawat. Kemudian, Syahnaz mengemasi semua barang-barang yang ada di sana. Hari ini wanita yang entah siapa namanya? Sudah diizinkan untuk pulang. Pakaiannya sudah di ganti dengan pakaian milik Syahnaz. Kebetulan, ukuran badan mereka sama.

Lima menit yang lalu, Syahnaz sudah menjelaskan kepada wanita itu bahwa untuk wanita itu akan ikut tinggal bersama kekuarganya. Wanita itu pun menyetujuinya karena tak ada pilihan lain, selain ikut bersama penyelamatnya. 

Selagi Syahnaz masih membereskan Ruangan Tulip, Fatan pergi ke bagian administrasi untuk mengurus pembayaran rumah sakit, surat perjanjian dengan pihak rumah sakit dan administrasi yang lainnya. 

Terdengar suara pintu diketuk. Syahnaz mempersilakan masuk. 

“Sudah siap?” tanya Fatan. 

Kedua netranya terpaku pada sosok berambut panjang yang masih duduk di atas ranjang rumah sakit. Cantik, gumamnya dalam hati.

“Sudah Kak, sebentar lagi!” Syahnaz memasukkan beberapa pakaian terakhir ke dalam tas. 

“Kakak, siapkan dulu mobilnya!” 

“Okay.” 

Fatan berlalu meninggalkan Syahnaz dan wanita itu. Setelah selesai, Syahnaz membimbing wanita itu untuk berjalan. Ia memegang lengan kirinya, agar berjalan beriringan dengannya.

 Siang ini, keadaan rumah sakit cukup lenggang karena hanya ada pasien yang rawat inap dan beberapa orang yang datang menengok kerabat atau temannya. Biasanya kesibukan terjadi di pagi hari sebab banyak pasien yang melakukan pemeriksaan untuk pasien yang rawat jalan. 

Mobil sudah siap di depan. Syahnaz membuka pintu belakang, ia menyuruh wanita itu untuk masuk. Setelahnya, Syahnaz pun ikut masuk. Lalu ia menutup pintu. Fatan langsung menyalakan mesin dan mobil pun melaju meninggalkan halaman rumah sakit.

Dari kaca spion Fatan menatap wanita itu. Lalu mengulum senyum. Akhirnya ia bisa membawanya pulang, setidaknya untuk sementara waktu sampai ingatannya pulih.

“Aku bingung mau manggil kamu apa?” tanya Fatan pada wanita itu. “Bagaimana kalau aku memberimu nama sementara?” 

“Boleh Mas,” ucapnya setuju. 

“Aku memberimu nama Safitri, bagaimana?”

“Safitri? Sebuah nama yang indah, aku setuju Mas,” jawabnya sambil mengulas senyum manis sekali. 

Fatan melirik ke arah Syahnaz, ternyata adiknya itu sudah tertidur lelap. Pasti ia kelelahan karena sudah mengurus Safitri selama dua hari ini. 

Mereka berdua tadi pagi sudah mengajukan cuti tambahan, hingga ada waktu satu hari untuk istirahat. Fatan juga lelah. Jika harus langsung masuk kantor. Ia takut malah nge-drop. Yang pada akhirnya tak masuk kantor dalam jangka waktu lama. Karena sekalinya sakit, ia akan memakan waktu lebih dari seminggu.

Daftar Chapter

Chapter 1: Suara Rintihan

2,202 kata

GRATIS

Chapter 2: Berkejaran dengan Waktu

1,200 kata

GRATIS

Chapter 3: Sebuah Nama

1,177 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 4: Pindah Keyakinan

1,246 kata

GRATIS

Chapter 5: Menikah

1,361 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!