')">
Progress Membaca 0%

Chapter 8: Fired

Franciarie 19 Aug 2025 1,677 kata
GRATIS

Membiasakan dari dengan hal baru itu butuh kerja keras ekstra dan pengorbanan besar. Pantas saja nggak banyak orang yang mau pindah dari titik nyamannya. Kalau boleh milih, aku juga nggak mau pindah dari hidup nyamanku dulu. Bukan cuma karena ada Papa yang masih bisa mengomel kalau aku makan mi instan, tapi aku nggak harus repot begini.

Tanganku cepat memasukkan semua buku dan alat tulis ke ransel. Aku nggak peduli semua benda ini akan berantakan di dalam tas. Mereka nggak mungkin bisa protes karena letaknya nggak sesuai pada tempatnya, kok. Nggak ada pulpen yang ngambek gara-gara dijauhkan dari stabilo kuning menyala yang udah seminggu ini diharapkan membalas cintanya.

"Ke mana, buru-buru banget?" Aya memperhatikanku yang memakai jaket.

"Kerja," jawabku singkat.

Mata Aya membulat. "Sebentar lagi, kan, kelas penggantinya Pak Ridwan, Vi. Lo nggak boleh bolos sehari pun di kelas ini atau nilai lo bakal D." Dia panik sendiri.

Aku memegang tangannya. "Aya yang cantik, tolong absenin gue, ya. Gue ada kepentingan menyangkut hidup orang banyak," pintaku penuh harapan. Aku menaruh sedikit beban masa depanku padanya.

"Mana bisa?" Aya ragu dengan permintaanku. "Muka gue beda banget sama muka lo, Cumi!"

"Percayalah kita adalah keluarga. Kakek moyang kita sama, Nabi Adam. Kita punya darah yang sama. Kita juga sama-sama Warga Negara Indonesia. Kita pasti mirip!" Aku berusaha meyakinkannya.

Dengan gerakan cepat tangan Aya sudah berpindah ke dahiku. "Lo nggak sakit. Jiwa lo aja yang bermasalah." Dia menggeleng sambil menatapku iba.

Aku tersenyum manis padanya. "Gue pergi dulu, ya. Udah hampir telat, nih," pamitku, lalu berlalu meninggalkannya.

Ini hari kelimaku menjadi karyawan di Djadoel Cafe. Hari ini aku nggak boleh telat, apalagi nggak datang. Kemarin, aku sudah datang terlambat selama hampir dua jam. Dosen Pengantar Bisnis dengan seenaknya menambah jam pelajaran sebagai kompensasi kelas sebelumnya yang kosong. Sekarang, giliran aku mengorbankan kuliah demi bisa bertahan di Djadoel Cafe.

Sesampainya di tempat kerja, aku langsung mengganti kemejaku dengan seragam pelayan. Seragam ini nggak ada yang istimewa. Hanya kaus berkerah warna merah yang ada logo Djadoel Cafe di bagian dada kiri. Sebagai bawahannya, kami bebas menggunakan apa pun, asal sopan. Kali ini aku nggak mengganti celana jins yang kupakai sejak tadi pagi.

"Vio," panggi Mbak Erika. Tubuh rampingnya menghalangi pintu ruang karyawan. Di samping dapur sengaja dibuat ruangan kecil khusus karyawan. Biasanya kami istirahat atau bersiap di sini. Ruangan ini nggak terlalu besar. Cuma ada satu pintu tanpa jendela yang membuatnya pengap.

Aku tersenyum sebagai bentuk penghormatan kepada atasan dan juga menutupi perasaan nggak enak yang datang saat melihatnya. "Mbak Erika. Apa kabar?" sahutku sambil melipat kemeja, lalu memasukkannya ke dalam ransel. Ada meja kayu di sudut ruangan, yang biasa kami pakai untuk meletakkan tas dan barang bawaan selama jam kerja.

"Nggak baik kalau kamu terus melakukan kesalahan." Kata-kata yang keluar dari bibir merah Mbak Erika tegas dan menyengat.

Di dalam dadaku seperti ada grup band musik metal yang sedang melakukan konser. Hentakan drum, petikan gitar, dan teriakan vokalisnya berbaur bersama teriakan para penonton yang nggak semuanya punya suara merdu. Aku memilih menunduk karena merasa bersalah.

"Ini peringatan terakhir buat kamu, Vio. Saya harap kamu nggak hancurin kafe ini lebih parah lagi." Mbak Erika menatapku tajam.

Aku tahu dia kecewa denganku. Aku terlalu banyak melakukan kesalahan. Mungkin aku dianugrahi kesialan lebih banyak dibandingkan orang lain. Setiap hari ada saja tindakan cerobohku yang berhasil menghancurkan barang. Wajar kalau akhirnya Mbak Erika murka. Aku sudah membuatnya rugi besar. Masih untung dia nggak meminta ganti rugi dari semua kekacauan yang kubuat.

"Baik, Mbak. Saya akan berusaha nggak ceroboh lagi," janjiku penuh tekad.

Mbak Erika tersenyum. Aku kagum dengannya. Usianya masih muda, tapi bisa punya bisnis seperti ini. Dia juga ramah dan baik hati. Lihat saja! Sekarang, dia malah mengajakku duduk di salah satu bangku, berbaur dengan para pelanggan.

"Sebenarnya apa yang membuat kamu nggak bisa fokus? Pekerjaanmu buruk. Maaf kalau terlalu blak-blakan." Nggak ada basa-basi dari Mbak Erika. Kalimatnya diucapkan dengan suara lembut, tapi sanggup mengoyak jantungku.

Kepalaku terus menunduk. Jemari tanganku saling membelit, bergerak tanpa ritme yang pasti. "Saya bingung, nggak tahu harus membayar cicilan rumah dengan cara apa. Akhir bulan ini batas waktu pembayarannya. Tapi, saya sama sekali belum berhasil mengumpulkan uang." Akhirnya aku bisa meluapkan isi kepala yang terus membuatku tersiksa. Baru kali ini aku bercerita pada seseorang. Ternyata rasanya cukup lega walau aku belum mendapatkan cara menyelesaikan masalahku.

"Memangnya nggak ada asuransi?" Pertanyaan Mbak Erika membuatku bingung. Sepertinya dia menyadari ketidaktahuanku. "Biasanya, kalau kredit rumah, ada asuransi atas bencana alam yang merusak rumah atau asuransi kematian. Jadi, kalau kreditur ternyata meninggal dunia sebelum kredit lunas, pihak asuransi yang akan membantu melunasi cicilan sisanya."

Setelah tiga bulan merasa sengsara, kali ini aku mendapatkan sedikit harapan. Dengan asuransi, aku nggak akan bingung membayar cicilan lagi. Semua masalah akan selesai dengan adanya asuransi.

Sayang, aku nggak punya waktu mengurus asuransi. Setelah menelepon pihak bank dan pihak asuransi, aku tetap diminta datang ke kantor untuk melengkapi berkas. Jangankan datang ke kantor, berkas-berkas yang diminta saja belum mampu kusiapkan.

Polis asuransi? Di mana Papa menyimpan surat-surat berharganya?

Surat keterangan kematian dari kepolisian? Apa ini? Apa aku harus ke kantor polisi untuk bertemu dengan bapak-bapak polisi yang datang ke rumah dulu? Wajahnya saja aku lupa. Gimana caranya bertemu mereka?

Pikiranku penuh dengan kata surat, polis, asuransi, cicilan, dan cilok yang sejak kemarin nggak sempat kubeli. Kepalaku jadi berat.

"Mukanya biasa aja, dong! Kenapa lo?" Aya bertanya sesaat setelah dosen Bahasa Inggris pergi.

"Capek. Gue capek jadi orang miskin." Aku asal berbicara. Nggak tahu kenapa mulutku malah mengeluh begini. "Kayaknya enak jadi Kylie Jenner yang nggak pernah bingung mau jajan cilok pakai duit siapa."

"Mbak Kylie nggak doyan cilok. Kita beda kasta sama dia," protes Aya.

Aku mendengus mirip kerbau kekenyangan. Nggak kupedulikan dia yang mulai membereskan semua peralatannya.

"Eh, anak-anak mau nongkrong. Lo ikut?" Aya menatapku dengan penuh harap.

Aku menggeleng lemah. "Gue kerja."

"Kapan libur?"

"Besok." Aku masih menjawab dengan malas.

"Kalau gitu, lo harus ikut nongkrong besok!" Aya bersemangat mengajakku.

Apa dia nggak paham kondisiku? Dia enak, orang tuanya masih lengkap. Dia bebas keluyuran tanpa pusing memikirkan harus membayar kredit rumah yang hampir bank sita. Dia nggak harus kerja sampai memecahkan piring dan gelas.

"Nggak bisa. Gue ada urusan." Aku mengatakannya dengan ketus, lalu meninggalkan Aya.

Dia terus memanggil namaku. Tapi, aku nggak peduli. Dia juga nggak peduli dengan penderitaanku.

Kupacu motorku menuju Djadoel Cafe secepat yang kubisa. Kesal dan kecewa membuat dadaku panas. Aku juga jadi nggak bisa fokus. Motorku sempat oleng akibat jalan berlubang yang nggak sempat kuhindari. Untungnya, aku masih sanggup menguasai laju motor tanpa terjatuh dan terluka.

Lagian kenapa lubang itu ada di tengah jalan, sih? Dia nggak bisa minggir biar nggak melukai pengendara yang lewat sini?

Aku tiba di tempat kerja setengah jam lebih cepat dari jam kerjaku. Aku masih bisa bersantai sebentar sambil mengintip media sosialku yang sudah jarang kugunakan lagi. Rasanya rindu melihat kabar teman-teman sekolahku dulu. Kutelusuri akun mereka satu persatu.

Bukannya membaik, perasaanku malah semakin kacau. Nggak ada yang salah dengan kondisi teman-temanku. Mereka bahagia. Mereka nggak menderita sepertiku. Ini terlihat jelas dari semua postingan mereka. Ada yang terus pamer sedang menikmati makanan yang lagi booming, yang terlalu banyak gula sampai bisa bikin gula darah melonjak tajam. Ada yang bisa liburan ke luar kota, bahkan luar negeri dengan jasa endorse. Ada yang bersikap konyol dengan mempermalukan diri sendiri.

Cuma aku orang paling menyedihkan di dunia ini. Nggak ada yang bisa kupamerkan karena tiap harinya hidupku terlalu menderita.

Kusimpan hp-ku di dalam saku celana. Sudah waktunya aku bekerja. Aku merapikan rambut panjangku sebelum keluar toilet.

Sudah hampir gelap di luar. Kafe semakin ramai saat malam. Malam ini juga ramai. Belum ada satu jam aku bertugas, semua bangku sudah ada pemiliknya. Tawa, ocehan, dan suara musik bercampur baur, membuatku muak.

Seorang cewek berkacamata memanggilku. Kusiapkan buku menu dan catatan sebelum menghampirinya. Dengan senyum ramah yang kupaksakan, aku menyapanya, "malam. Ada yang bisa saya bantu?"

"Es tehnya satu lagi, ya, Mbak. Tapi, es batunya dikit aja," jawabnya tanpa memandangku. Matanya menatap layar laptop di hadapannya. Jemari lentiknya menari di huruf-huruf dengan cepat.

Aku mengintip sebentar apa yang dia ketik. Ada banyak kata yang nggak kupahami. Mungkin dia sedang menyelesaikan skripsinya. "Ada lagi, Kak?" tanyaku demi kesopanan.

Dia menggeleng, masih tanpa menatapku. "Nggak. Itu aja."

"Baik. Ditunggu pesanannya, ya, Kak," pamitku, lalu pergi meninggalkannya sendirian.

Coretan tanganku kuserahkan ke orang bagian dapur. Nggak butuh waktu lama untuk siapa pun yang ada di dapur meracik es teh. Aku langsung membawa gelas panjang berisi cairan cokelat dengan tambahan sedikit es batu itu. Kakiku melangkah lebar agar segera cepat sampai ke cewek tadi.

"Ini pesanannya, Kak." Aku mengangkat gelas. Gerakanku terlalu cepat sampai nggak memperhatikan posisi laptop yang terbuka. Tanganku menyenggol laptop dan es teh dalam gelas sukses membasahi semua yang ada di meja.

"YA, AMPUUUUUN. LAPTOP GUE." Teriakan pemilik laptop melengking mengalahkan bisingnya kafe ini. Cewek itu langsung melotot ke arahku. Aku sampai takut bola matanya keluar.

"Maaf maaf. Maafin saya." Aku cuma bisa meminta maaf berulang kali. Sebuah permintaan maaf yang sia-sia.

Dia murka karena laptopnya rusak. Kau nggak tahu kenapa laptop itu langsung mati setelah mandi es teh. Apa es tehnya beracun? Atau ada muatan virus berbahaya yang bisa membunuh laptop dalam waktu singkat dalam es teh itu?

Akhirnya, dia minta ganti rugi. Aku terpaksa memberinya uang sebagai kompensasi seharga laptop baru yang sama dengan miliknya itu.

"Vio, ke ruangan saya sekarang!" perintah Mbak Erika dengan penekanan pada kata sekarang. Di matanya berkilauan seperti kilat. Dia pasti marah besar.

Baru kali ini aku masuk ke ruangan Mbak Erika. Ukurannya sama seperti ruangan khusus karyawan dengan dekorasi yang lebih menyenangkan dengan jendela besar yang menghadap ke jalan. Walaupun menyenangkan, ruangan ini nggak mampu membuat suasana hati Mbak Erika membaik. Dia duduk tegap di kursinya. Kedua tangannya saling membelit di depan dada. Wajahnya terlihat sangat menakutkan. Aku berani bersumpah kalau Kuntilanak kalah seram dengannya sekarang.

Aku berdiri di depannya dengan kepala menunduk, nggak berani menatapnya lama. Memandang sepatu cokelatku lebih menyenangkan dibanding wajah cantik Mbak Erika saat ini.

"Saya kecewa sama kamu, Vio." Mbak Erika memulai ceramahnya. "Seperti yang sudah saya ingatkan sebelumnya, kali ini nggak ada kesempatan lagi buat kamu. Kamu dipecat!"

Daftar Chapter

Chapter 1: Dream Come True

1,723 kata

GRATIS

Chapter 2: Sad Story

933 kata

GRATIS

Chapter 3: Deep Sleep

1,079 kata

GRATIS

Chapter 4: Tears

910 kata

GRATIS

Chapter 5: Funeral

1,160 kata

GRATIS

Chapter 6: New Normal

1,661 kata

GRATIS

Chapter 7: New Job

1,829 kata

GRATIS

Chapter 8: Fired

1,677 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 9: New Bussiness

1,771 kata

GRATIS

Chapter 10: Old Friend

1,679 kata

GRATIS

Chapter 11: Sugar Baby Wanna be

2,078 kata

50 KOIN

Chapter 12: Mission Failed

1,611 kata

50 KOIN

Chapter 13: Confiscated

1,576 kata

50 KOIN

Chapter 14: Separation

1,694 kata

50 KOIN

Chapter 15: Independent Day

1,622 kata

50 KOIN

Chapter 16: The End of The Struggle

1,451 kata

50 KOIN

Chapter 17: Former Sugar Daddy Candidate

1,411 kata

50 KOIN

Chapter 18: New Room

1,203 kata

50 KOIN

Chapter 19: Grumpy Oldman

1,341 kata

50 KOIN

Chapter 20: Goodnight

1,419 kata

50 KOIN

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!