')">
Progress Membaca 0%

Chapter 3: JUN

Awwfury 17 Aug 2025 1,973 kata
GRATIS

"MALING! Maling! Tolong! Ada maling!"

Mungkin karena bingung dan panik, pria di balik meja itu langsung beranjak bangkit dan melempar rotinya begitu saja, lantas melompat ke arah Yemima. Melihat sosok itu makin mendekat, pikiran Yemima makin tidak karuan.

Bagaimana kalau penjahat itu membunuhnya?

Ia hanya tinggal sendirian. Tidak ada seorang pun yang tahu tempat tinggalnya sekarang. Sang ibu sudah berbahagia dengan keluarga barunya, sedangkan sang adik yang baru menikah tahun kemarin juga sepertinya sudah tidak mau tahu urusannya. Sahabat dan pacarnya pun—entah kenapa di saat seperti ini Yemima masih memikirkan kedua pengkhianat itu—juga sudah hilang bak ditelan bumi.

Tidak. Bukan.

Dirinyalah yang sebenarnya sedang bersembunyi dari dunia. Semenjak hari itu, Yemima tidak lagi berniat menghubungi siapa pun. Ia terus menikmati kesendiriannya di dalam rumah, berkutat dengan naskah yang meskipun berkali-kali ia coba lanjutkan, tetap sia-sia.

Lantas, jika dalam masa persembunyiannya ini tiba-tiba ia benar-benar terbunuh, dan tidak ada seorang pun yang tahu, bagaimana nasibnya nanti? Akankah mayatnya baru ditemukan ketika sudah berbau busuk dan tercium hingga rumah tetangga beberapa hari bahkan beberapa minggu kemudian? Seperti yang terjadi di berita-berita kriminal televisi?

Yemima bisa membayangkan headline apa yang akan terpampang jelas di internet jika sampai hal itu terjadi.

 

TERUNGKAP!

PENULIS THE MISSING AUTHOR DITEMUKAN TEWAS DI RUMAH KONTRAKANNYA DENGAN KONDISI YANG SUDAH BERBAU TERAMAT BUSUK

AKHIRNYA, DIA BENAR-BENAR MENGIKUTI JEJAK PENDAHULUNYA

 

Astaga. Tidak. Itu tidak boleh terjadi.

Ia tidak boleh mati mengenaskan seperti itu.

Ia harus melawan. Ia harus tetap hidup. Tidak boleh mati.

Namun, ketika dirinya sudah hampir berteriak lagi, mulutnya sudah keburu dibekap oleh tangan si pria dengan teramat kuat. Tubuhnya pun entah bagaimana bisa terkunci sedemikian rupa hingga tidak bisa bergerak.

Sekuat-kuatnya Yemima berontak, tetap saja akan kalah dengan kekuatan seorang pria.

"Berhenti teriak!" seru pria beraroma mint itu dengan napas yang kedengarannya terengah-engah. Mungkin ia juga agak kewalahan menghadapi Yemima yang terus berusaha melakukan perlawanan. "Aku Jun! Kamu nggak kenal aku?"

Mendengar nama Jun disebut, wanita yang penampilannya sudah sangat berantakan itu perlahan-lahan mulai berhenti melawan. Pasalnya, nama itu sangatlah familier di telinganya. Akan tetapi, juga asing di saat yang bersamaan.

Di mana kira-kira ia pernah mendengar nama itu?

"Oke, relax. Aku bukan orang jahat, oke?" bujuk pria itu lagi, dengan suara yang lebih lembut, tetapi juga terdengar waspada. "Aku akan jelaskan semuanya kalau kamu janji nggak bakal teriak-teriak lagi kayak orang kesetanan. Deal?"

Yemima masih belum menjawab. Ia masih berusaha mencerna adegan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Meskipun ragu, wanita itu mulai berani menoleh untuk menatap wajah seseorang yang kini tengah memitingnya dari belakang itu.

Rambut cokelat kemerahan dengan headband putih di dahi adalah pemandangan pertama yang Yemima tangkap melalui sudut matanya. Kemudian, pindaiannya turun ke arah kedua alis yang tebal tapi rapi. Sorot mata pemilik mata lebar itu tampak setajam elang dengan iris cokelat terang. Hidungnya pun cukup bangir. Bibirnya tidak terlalu berisi, juga tidak terlalu tipis. Lalu, pada pipi bagian kanannya, ada sebuah bekas luka yang sepertinya sudah teramat lama, hingga hanya meninggalkan tekstur kulit yang sedikit berbeda. Dan, ada sebuah tahi lalat kecil di dekat mata sebelah kanan.

Sejenak Yemima yakin, ia pernah bertemu orang ini sebelumnya. Namun, ia tidak benar-benar ingat juga. Hanya sekelebat, lalu menghilang. Mungkin mereka berpapasan di suatu tempat?

"Sudah bisa diajak bicara sekarang?" tanya pria yang mengaku bernama Jun itu hati-hati.

Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya Yemima mengangguk.

Akan tetapi, ia tidak akan mudah menyerah begitu saja. Wanita itu sudah menargetkan bolpoin yang tergeletak di dekat komputer. Jika pria itu tidak menepati ucapannya dan bertingkah yang tidak-tidak, ia berencana untuk melompat ke arah meja, menggapai bolpoin, lantas mengacungkannya tepat pada dada si penjahat. Biarlah kehidupannya yang selama ini mengalir dengan genre drama keluarga dan romansa komedi, beralih haluan menjadi thriller. Begitu pikirnya.

Di luar dugaan. Pria itu benar-benar melepaskan cengkeraman dan bekapan tangannya. Bahkan, ia juga melangkah mundur dengan sangat perlahan dan hati-hati. Sepertinya, ia berharap Yemima tidak kaget sehingga tidak jerit-jerit histeris lagi.

"Memangnya aku ini ada tampang kriminal apa?" gerutu pria bersweter oversize bercorak cipratan cat warna-warni itu pelan. Kalung rantai silver berbandul huruf 'J' yang ia pakai tampak bergoyang-goyang seiring dengan langkah kakinya.

Pria itu mengangkat telapak tangannya setinggi dada, seolah mengisyaratkan bahwa dirinya sedang tidak membawa senjata apa pun. "Bisa kita bicara sambil duduk santai?"

***

Kini, keduanya sedang duduk di sofa ruang kerja secara berhadapan. Yemima menatap sosok di depannya sembari mengernyitkan dahi setelah mendengar segala omong kosong yang baru saja dipaparkan oleh tamu tak diundangnya.

Tentu saja Yemima menyebutnya omong kosong. Lagi pula, siapa di dunia ini yang percaya bahwa tokoh utama karakter fiksi dari sebuah novel bisa muncul di dunia nyata seperti ini?

Lebih masuk akal kalau ia memang mengaku maling! batin Yemima tidak habis pikir.

"Jujur saja," ucap Yemima akhirnya. "Apa mau kamu? Kenapa repot-repot menipuku sampai sebegininya?"

Pria itu terbelalak. "Menipu? Siapa yang menipu? Aku benar-benar Jun! Tokoh utama dari webnovel yang lagi kamu tulis! Kamu menciptakanku, tapi sama sekali nggak mengenaliku? Keterlaluan banget, tahu, nggak!"

"Keterlaluan?" Yemima berdecih. "Nggak kebalik? Memangnya siapa yang larut malam begini mengendap-endap ke rumah perempuan yang tinggal sendirian?"

"Aku juga nggak tahu kalau bakal sampai di sini tadi!" sahut Jun cepat. "Kamu tahu, aku udah berhari-hari tergeletak di atas lantai panggung gara-gara terpeleset bekas air hujan sore itu. Nggak makan. Nggak minum. Bahkan, nggak bergerak! Karena apa? Karena kamu nggak kunjung lanjutin tulisanmu! Dan, apa? Alih-alih menulis, kamu malah enak-enakan tidur? Kamu nggak kasihan sama aku? Seenggaknya kasih pertolongan dulu, kek. Dibantuin siapa, gitu. Manajer, kek. Orang lewat, kek. Nggak main tinggal gitu aja. Benar-benar sangat nggak bertanggung jawab."

Yemima menganga. Sama sekali tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pria itu bilang apa tadi? Enak-enakan tidur? Pria kurang ajar itu benar-benar sok tahu! Ia tidak tahu betapa keras usaha Yemima untuk melanjutkan bab selanjutnya!

Ringan sekali mulutnya!

"Kamu orang suruhan Ibu Peri?" terka wanita itu akhirnya, sambil berusaha meredam emosinya yang mulai tersulut. "Mau dipikirkan seribu kali pun, lebih masuk akal kalau kamu mengaku dari dua ini. Pertama, maling, yang masuk rumahku secara diam-diam. Kedua, orang suruhan editor, supaya aku cepat-cepat merampungkan naskahku—mendengar kamu tadi menyinggung soal scene terakhir yang kutulis. Jadi, kamu yang mana?"

Pria itu mengembuskan napas panjang. "Apa yang harus kulakukan supaya kamu percaya kalau aku benar-benar Jun? Karakter fiksi tokoh utama dalam webnovel-mu?" Ia menegakkan posisi duduknya. "Dengar. Aku, seorang penyanyi dan aktor. Bisa juga jadi rapper atau dancer. Pada hari seharusnya aku tampil di acara Konser Lingkungan Hijau yang dilakukan secara outdoor, hujan terus turun mulai dari dini hari sampai siang. Untunglah sorenya hujan udah reda. Tapi, sialnya, aku malah terpele—"

"Kamu bisa baca adegan itu dari internet," sela Yemima sembari mengedikkan dagu ke arah meja komputer. "Kamu pasti membacanya dari sana tadi. Seingatku, aku juga membuka halaman bab itu pada salah satu tab."

Jun mengerang. "Kenapa kamu susah sekali percaya?"

"Coba bertukar posisi. Misal kamu jadi aku, apa kamu akan gampang percaya dengan segala omong kosong ini?" sahut Yemima tidak mau kalah. Kedua alisnya terangkat naik. "Sosok di balik The Missing Author, hanya Ibu Peri yang tahu. Kalau bukan karena diberitahu Ibu Peri, bagaimana kamu tahu kalau aku The Missing Author, yang menulis cerita itu?"

"Aku bahkan sama sekali nggak tahu-menahu tentang itu sebelum tiba di sini satu setengah jam yang lalu!" sergah Jun frustasi. "Yemima, dengar ...."

"Bagaimana kamu tahu namaku?"

"Apa semuanya harus kamu pertanyakan satu per satu?" Jun mendesah pasrah. "Oke. Mejamu. Aku tahu kamu memang penulis, tapi apa perlu sampai corat-coret nama di atas meja segala? Memangnya kamu segabut itu?"

Gabut. Mungkin memang itulah yang dipikirkan orang lain mengenai kebiasaan Yemima yang satu itu. Namun, bagi Yemima, corat-coret itu lebih seperti pengalih perhatian. Perhatian agar tidak lagi terbayang-bayang adegan menjijikkan yang terus berputar bak kaset rusak di benaknya.

"Oke," ujar Yemima akhirnya. "Anggap saja aku percaya. Sekarang, karena sudah sangat malam, lebih baik kamu pergi. Toh, kamu juga sudah dapat dua roti bakar juga, kan, tadi? Jadi, jangan anggap aku nggak menjamumu. Astaga. Lagi pula, di mana ada orang waras yang menjamu maling di rumahnya?"

"Aku bukan maling dan aku nggak bisa pergi."

"Apa lagi sekarang? Mau kutelepon polisi?"

Jun merosot ke sandaran sofa. "Pikirmu, aku tadi nggak mencoba buat pergi? Aku sudah menduga, kamu bakal bereaksi kayak gini kalau tahu tiba-tiba ada orang aneh yang masuk rumahmu. Makanya, tadi aku juga sudah coba buat pergi diam-diam. Tapi, nggak bisa. Aku nggak bisa keluar dari rumah ini semauku. Mau bukti?"

Yemima belum memberikan jawaban, tetapi pria itu sudah beranjak.

"Tunggu di sini."

Yemima masih belum benar-benar mengerti rangkaian kejadian malam ini. Segalanya sangat-sangat-sangat sulit untuk diterima logika manusia mana pun, sehingga ketika pria bernama Jun itu mulai melangkah menuju pintu, wanita itu hanya bergeming di tempat duduknya.

Tidak lama kemudian, terdengar bunyi 'brak' yang amat keras, seolah-olah sesuatu yang besar tengah membentur sesuatu. Yemima spontan berdiri dan berlari menuju asal suara.

Begitu keluar dari ruang kerja, ia celingukan sebentar. Setelah memindai sekitar selama beberapa detik, pandangannya kemudian terhenti pada arah pintu rumah. Tertutup, tetapi sedikit bergetar. Yemima mulai melangkah menuju pintu itu.

Begitu ia menarik handle, pria yang tadi berada di ruang kerja kini tengah terduduk di bawah sembari mengelus-elus bahunya.

Yemima menelengkan kepala. "Apa yang—"

Pria itu mendongak, memperlihatkan raut mukanya yang kesakitan. "Aku ... terlempar. Jadi, tadi ceritanya, aku jalan ke pagar. Udah berhasil buka kuncinya juga. Pas maju tiga langkah, aku langsung terlempar masuk lagi ke sini, nabrak pintu, seolah-olah ada yang menahanku supaya nggak pergi dari rumah ini. Lihat, kan? Aku benar-benar nggak bisa pergi sekalipun aku mau."

Yemima mengernyit. "M ... maksudnya? Kamu ... terlempar gimana, sih? Aku nggak ngerti."

"Yaaa ... terlempar. Literally, terlempar dari sana ...." Jun menunjuk ke luar pagar, kemudian menggerakkan jari telunjuknya membentuk garis melengkung hingga ke tempatnya terjerembap sekarang. "Dan, wiiiing, terbang sampai nabrak ini."

Yemima menelengkan kepala, lantas berdecih pelan. "Kamu pikir aku bakal percaya?"

Jun mendengkus sebal. "Jadi, kamu mau aku mengulang insiden 'terlempar' ini lagi? Biar kamu percaya? Astaga. Aku sudah melakukannya hingga puluhan kali, loh, tadi, pas kamu tidur. Hebat banget kamu nggak kebangun padahal suaranya sekenceng ini. Meskipun rasanya sakit karena nabrak pintu terus-terusan, aku tetap melakukannya sekali lagi untuk ditunjukkan kepadamu. Dan, apa? Kamu mau aku ulang lagi? Kalau aku masuk rumah sakit karena tulangku retak, kamu mau tanggung jawab?"

"Y-ya lagian, kalau bikin alasan, yang masuk akal dikit, kek."

"Aku keluar dari webnovel aja udah nggak masuk akal, Yem," timpal Jun seraya bangkit dari posisi duduk sembari mengibas-ngibas celana jins belel gombrong berpotongan lurus yang dikenakannya. "Intinya, Yem, aku nggak bisa pergi dari rumah ini seenaknya. Menurutku, mungkin, karena ini rumah penulisku, makanya aku jadi ketahan di sini."

Hening sejenak. Hanya terdengar cirik-cirik jangkrik yang entah tengah bersemayam di mana. Yemima pun masih bergeming dengan alis terangkat dan kening berkerut saat menatap Jun mulai melongok ke dalam rumah.  

Yam-Yem-Yam-Yem. Memangnya dia sedekat apa sama aku, sampai seenaknya memenggal namaku begitu?

Ketika pria itu kembali nyelonong masuk ke dalam rumah, Yemima masih terpaku di tempat.

Otaknya benar-benar lambat memproses atas segala hal tidak masuk akal yang terjadi hari ini.

Jun membuka pintu kamar tamu. Setelah menatap ke arah dalam kamar sejenak, ia memalingkan muka ke arah Yemima.

"Kamar ini kosong, kan?" tanyanya.

Apa lagi ini? Mau apa dia?

"K-k-kamu mau apa?"

"Piknik," sahut Jun asal-asalan. Lantas segera mengoreksi. "Apa lagi? Aku ngantuk. Mau tidur. Karena seseorang, aku bahkan nggak bisa tidur selama berhari-hari!"

Sepertinya ia sengaja menekankan kata 'seseorang' untuk menyindir Yemima.

"Di rumahku?" Yemima berjengit.

Jun mengangkat bahu. Dan, entah kenapa, Yemima merasa ekspresi pria itu jadi tampak agak menjengkelkan.

"Memangnya aku bisa ke mana lagi?"

Setelah mengatakan itu, ia melangkah masuk kamar, lantas menutup pintunya keras-keras.

Sekarang, yang tersisa hanyalah keheningan ditambah cirik-cirik jangkrik yang tidak kunjung berhenti.

Yemima berkedip-kedip bingung.

Sebenarnya, apa yang baru saja terjadi?

***

Daftar Chapter

Chapter 1: PROLOG

571 kata

GRATIS

Chapter 2: PRIA ANEH DI RUANG KERJA YEMIM...

1,323 kata

GRATIS

Chapter 3: JUN

1,973 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 4: KEBAKARAN

1,767 kata

GRATIS

Chapter 5: PERATURAN PERTAMA

1,797 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!