Chapter 3: Bad News Is Not Good News
Saat aku tiba di kantin, Ramona sudah menunggu dengan muka masam. Di mejanya tergeletak dua buah mangkuk bekas bakso yang ditumpuk asal.
"Dari mana aja sih lo, Kobokan Pecel Lele! Lama banget! Katanya lima menit—“ Ramona mulai mencecar.
"Sorry, Ra. Tadi gue sedikit ada... accident!"
"Accident apaan? Lo digodain tukang kebun baru itu lagi?"
Aku tergelak.
Sahabatku ini pasti masih ingat kejadian beberapa waktu lalu. Tukang kebun baru di rumah pemilik kosan kami, masih muda banget. Entah dia yang iseng atau mukaku memang masih kelihatan seperti anak SMA. Dia ngajak kenalan dengan embel-embel panggilan ‘Dek.’ Padahal setahu kami, dialah yang baru lulus SMA. Jelas saja setelah itu aku jadi bulan-bulanan Ramona.
"Heh! Kesambet lo, ya? Ditanya malah ketawa-tawa sendiri!" sembur Mona seraya mencipratkan ujung sedotan dari gelas es jeruknya ke wajahku.
"Sialan lo, Ra. Basah 'kan gue!" Aku pura-pura cemberut. Alih-alih minta maaf, Ramona malah terbahak sampai pundaknya berguncang-guncang.
Mengabaikan cewek tomboi itu, aku balik tanya sambil melap muka yang terkena percikan cairan kuning itu.
"Kenapa lo nelpon gue?"
Ramona berhenti terkekeh. Dia mengusap ujung mata yang berair sebelum membetulkan posisi duduknya, dari bersandar tembok sampai memangku satu kaki.
"Ada dua berita. Satu baik, satunya buruk. Mau dengar yang mana dulu?" Sekarang dia terlihat lebih serius.
"Biasanya yang buruk dulu." Aku menyeruput es teh manis pesananku. "Gue penasaran, berita apa yang bikin lo kalap ngabisin bakso sampai segitu banyak."
Aku menahan senyum. Ramona tidak menanggapi. Wajahnya malah berubah. Terlihat jauh lebih bersungguh-sungguh.
"Tadi ada yang kirim pesan singkat ke gue. Dia ngajakin ketemuan."
"Siapa?"
"Ngakunya sih, nyokap gue!" Ramona mendengkus.
Aku tersedak es teh manis. Sepertinya ini benar-benar bukan berita bagus. Ini juga sangat sangat serius!
"Lo yakin itu beneran nyokap lo?"
Ramona mengedikkan bahu, memainkan sedotan dalam gelasnya. "Gue nggak tahu."
Suasana kantin mendadak sepi.
"Kenapa nggak nanya aja sih sama bokap lo? Beliau punya kontak nyokap lo, 'kan?"
"Gue nggak yakin, Del."
Sunyi lagi.
Setelah beberapa saat bermain-main dengan pikiran yang berkecamuk di kepala masing-masing ....
"Tapi misal nih, itu beneran nyokap lo, gimana? Lo mau 'kan ketemu dia?" Aku bertanya hati-hati. Masalah ini memang sangat sensitif buat Ramona. Dia bisa saja tomboi dan cuek, tetapi untuk segala hal menyangkut mamanya, dia bisa lebih galau dari Olivia Rodrigo.
Benar saja. Jawabannya bikin aku sempat tersentak beberapa jenak.
"Gue nggak mau!" Suara Mona berubah datar dan ketus. "Bertahun-tahun perempuan itu ninggalin gue gitu aja. Sekarang, sekonyong-konyong dia muncul from nowhere, memohon-mohon minta ketemu gue!"
Ramona mengembuskan napas kuat-kuat.
"Ya, tapi perempuan itu nyokap lo, Ra. Ingat itu."
"Enggak!” Ramona memelotot. “Gue nggak punya nyokap! Nyokap gue udah mati. Sepuluh tahun yang lalu!"
Aku menelan ludah. Reaksi gadis ini sungguh bikin aku menyesal telah melontarkan pertanyaan tadi.
Duduk di sisinya, aku dapat menangkap dengan jelas tangan yang mengepal di bawah meja, perubahan wajah, pun dengan berjuta luka, menari-nari di kedua bola matanya yang menatap kosong. Aku paham, di balik sikap Ramona yang kadang terlihat tegar, kuat, dan mandiri, dia ini tetap punya bagian hati yang rapuh.
Aku bergeser lebih merapat padanya, lalu meraih tangan gadis itu dari bawah meja. Kugenggam dengan kedua tangan untuk memberinya dukungan. Aku tahu, tidak ada yang bisa dilakukan saat ini. Memaksanya juga tidak mungkin. Kata orang, waktu bisa menyembuhkan luka. Mudah-mudahan, itu berlaku juga buat Ramona.
Menepuk-nepuk sebentar tangannya, aku mencoba mengalihkan perhatian. "Now tell me, what’s the good news?"
Ramona menarik napas dalam-dalam, seolah menutup layar di masa silam dan mencoba terbang kembali ke masa sekarang. Sekilas kulihat dia menarik bibirnya ke atas.
"Ayo, cerita dong! Katanya lo ke-gep tadi, ya? Apa ini ada hubungannya dengan berita baiknya?" Aku menaikturunkan alis.
Gadis itu mengembangkan senyum lebar. Sejurus kemudian, percakapan tentang mamanya, seperti menguap begitu saja.
"Iya. Gue tadi ketemu cowok cakep banget di Gardenia Kafe, Del. Apesnya, dia mergokin gue waktu nyolong cupcake—“
Tawanya berderai meriah.
Aku meninju pundak Ramona main-main. "What the—Rara! Masa kue aja lo colong, sih?"
"Gue khilaf, Del—“ Dia masih terus tergelak.
Untuk urusan cowok, sepertinya suasana hati Ramona memang bisa cepat sekali berubah. Sepertinya, hati dia punya tombol switch yang bisa diubah sewaktu-waktu.
"Terus cowok ini—“
“Asli, dia cakep! Tipe gue banget! Kayanya dia kerja di kafe situ, deh. Soalnya waktu gue masuk, dia lagi ngeluarin kue dari dalam oven. Pas gue beraksi, sekonyong-konyong aja dia udah berdiri di belakang gue!"
Aku memutar bola mata malas.
"Ah, semua cowok ganteng 'kan emang tipe lo, Ra.” Aku mencebik. ”Mau dijadiin pacar ketiga belas?"
Ramona berpikir sejenak, lalu menghitung dengan jarinya.
"Dua belas, Del," jawabnya serius. "Cowok gue terakhir Frans. Dia yang kesebelas."
Aku tersedak ludah sendiri, lalu tergelak.
"Lo, sih, curang. Punya cowok bisa sampe belasan gitu. Sedangkan gue? Satu pun belum." Aku melap ujung-ujung mata yang berair.
"Makanya, jadi orang jangan kuper! Bergaul sana! Sama manusia, jangan sama tokoh novel melulu. Biar kalau punya pacar itu orang beneran. Bukan tokoh fiksi, Parutan Keju!"
Spontan kucubit pinggang Mona, sampai anak itu berhenti menertawakan.
"Well, tadi gue juga ketemu cowok imut banget." Astaga! Baru ngomong begini saja mukaku sudah terasa panas. Apalagi setelah kalimat-kalimat selanjutnya meluncur begitu saja tanpa sempat kupikir, "Sebenarnya, belakangan ini gue sering lihat dia di kampus, sih. Cuma kenapa ya, perasaan gue kok enggak keruan tiap kali lihat dia. Cowok itu—“
Kata-kataku terjeda sesaat karena Ramona terlihat kaget. Dia mengucek-ngucek mata, seperti tidak yakin pengakuan itu keluar dari mulutku.
"Lo, sehat?" Ramona menyentuh dahiku dengan telapak tangannya yang segera kutepis cepat.
Wajahku makin panas. Oh, ya ampun! Andai bisa kulepas dan kutaruh saja muka ini di bawah kolong meja.
"Cieee ... yang lagi jatuh cin—“
Spontan kutendang pelan tulang keringnya saking kesal.
“Aw! Sakit tauk!” Dia meringis.
Belum sempat membalas candaannya, sebuah pesan masuk di ponselku. Dahiku seketika berkerut begitu tahu siapa yang mengirimkan pesan. Bukan. Bukan dari cowok yang barusan kubicarakan dengan Ramona. Namun, ini dari Cecil, katingku.
Aku menarik napas panjang.
Kupikir, sudah tidak ada lagi senioritas kalau sudah kuliah. Nyatanya, aku masih mengalami. Hanya karena tidak sengaja menabrak dan menjatuhkan buku-buku yang dibawanya dari perpustakaan, dia memaksaku untuk menunjukkan siapa pacarku. Jelas saja aku gelagapan. Boro-boro punya pacar, tahu rasanya jatuh cinta saja belum. Kata Ramona, hidupku memang sengenes itu. Padahal, aku baik-baik saja, kok.
Oya, kembali ke Cecil. Dia ternyata bertaruh dengan teman-temannya, yang percaya kutu buku sepertiku, tidak bakal pernah jatuh cinta apalagi punya pacar. Hanya Cecil yakin aku bisa punya pacar. Entah dari mana keyakinannya itu berasal. Yang jelas, dia mau membuktikan itu demi memenangkan pertaruhan. Dan isi pesannya tadi, kembali mengingatkan aku untuk setidaknya menunjukkan satu fotoku bersama seorang teman pria. Atau dia akan meminta Miss Prisil, dosen mata kuliah paling banyak jumlah SKS-nya, English Phonetics and Phonology, memberikan nilai minus untukku. For your information, Cecil adalah keponakan Miss Prisil.
"Ra—“ Aku berucap ragu. "Lo mau bantuin gue?"
"Ngapain?"
"Uhm ... anu .... " Duh, sial. Mata julid Ramona bikin aku tambah sulit menceritakan masalahku. Namun, seperti dukun, dia malah menebak.
"Lo, mau gue comblangin dengan cowok lo tadi?"
Sekali lagi aku memutar bola mata, sekaligus menyembunyikan rasa hangat yang menjalar cepat di pipi.
"Tenang aja, lo pasti gue bantuin." Ramona merangkul dan menepuk-nepuk bahuku. "Tapi, apa imbalannya buat gue?"
Aku melepaskan rangkulan lalu menoyor kepalanya pura-pura.
"Sialan, lo. Pamrih amat jadi temen."
Ramona tergelak.
"Imbalannya? Uhm ... gue akan bantu lo keluar dari kebiasan yang malu-maluin itu."
Tawanya terhenti, berganti bibirnya yang maju dua senti.
"Itu penting. Supaya cowok-cowok lo nggak kabur-kaburan melulu setelah sadar 'keahlian' lo yang satu itu." Aku melanjutkan sambil tergelak dan balas merangkul cewek itu yang bergumam tak jelas.
"Gimana?"
Setelah tampak berpikir cukup lama, akhirnya Ramona mengangguk.
Mengaitkan jari kelingkingnya pada kelingkingku, Ramona tersenyum lebar. "Okey, DEAL!"
Daftar Chapter
Chapter 1: As Sweet as Cupcakes
1,488 kata
Chapter 2: Lucky Me To Meet You
1,595 kata
Chapter 3: Bad News Is Not Good News
1,315 kata
Chapter 4: Starry Nite
1,147 kata
Chapter 5: Surprise, surprise!
1,093 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!